Oleh Zain Maulana
Mahasiswa PhD University of Leeds, Inggris
Disclaimer: mohon tanggapan ini tidak dikaitkan dengan pilpres melainkan sebagai bentuk dialog dan diskusi. Yang komentar tentang pilpres, saya tenggelamkan hehehe…
Akhir-akhir ini publik kembali diramaikan dengan perbincangan mengenai statemen Rocky Gerung yang menyatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, dalam arti ‘energi yang membangkitkan imajinasi’.
Pro-kontra bermunculan, beragam respon bertebaran di sosial media salah satunya tanggapan dari Fahd Pahdepie.
Dalam responnya, Fahd menukil analogi Tuan Guru Bajang yang menyatakan apa jadinya jika kitab suci seperti Al-Quran atau injil disebuah toko buku diletakkan di rak fiksi bukan rak agama seperti lazimnya kita lihat.
Atas dasar analogi ini Fahd berpendapat bahwa penyataan Rocky keliru karena telah menabrak tatanan nilai, common sense maupun klasifikasi umum yang telah mapan di masyarakat secara ugal-ugalan.
Pada esensi yang sama, pendapat seperti ini juga pernah disampaikan oleh Sujiwo Tejo pada suatu acara di televisi.
Pada poin inilah saya melihat adanya celah dari argumen tersebut.
Jika kita meyakini bahwa tatanan sosial, nilai dan beragam klasifikasi adalah hasil konstruksi (socially constructed), maka pada dasarnya konstruksi itu bisa berubah dan boleh diubah.
Asumsi dasarnya adalah makna dari sebuah nilai dan aturan tidak statis melainkan dinamis. Implementasi dari nilai itu ada di ruang sosial yang tidak kedap, sehingga maknanya selalu “contextually in use”, meskipun tidak selalu berarti bahwa makna sebuah nilai dan aturan bersifat relatif. Kesepakatan atau bahkan keseragaman interpretasi sangat mungkin dicapai, meskipun pada saat yang sama hal tersebut tidak secara otomatis bahwa keluar dari keumuman berarti keliru atau salah.
Jika ketaksamaan dan ketidakpatuhan pada sebuah tatanan dan nilai umum dianggap sebagai kekeliruan, maka bagaimana kita menempatkan dan menjelaskan perubahan (baik itu kemajuan atau kemunduran) sebagai sesuatu yang melekat dalam kehidupan sosial.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin merespon pernyataan Rocky sebagai bagian dari perdebatan dan argumentasi.
Rocky boleh saja melakukan interpretasi bahwa diksi fiksi yang dia gunakan merujuk pada “energi untuk membangkitkan imajinasi atas sesuatu”, meskipun definisi yang digunakan tidak mengikuti keumuman. Pada poin ini, esensi atau makna yang dimaksud lebih penting daripada sekedar terjebak pada klasifikasi bahasa atau kata. Seperti dua orang yang menyebut satu kata tertentu namun sesungguhnya merujuk pada esensi yang berbeda. Sederhananya, kalimat Rocky bisa diganti dengan menyebutkan bahwa kitab suci adalah energi untuk membangkitkan imajinasi.
Menurut saya problematikanya adalah Rocky menyebut bahwa “fiksi lawannya adalah realitas bukan fakta”. Artinya kitab suci lawannya adalah realitas. Disini terdapat inkonsistensi dalam argumen Rocky.
Disatu sisi dia menyebutkan bahwa kitab suci adalah fiksi (dalam pengertian yang dia sampaikan), namun disisi lain Rocky mengatakan bahwa fiksi lawannya adalah realitas.
Kitab suci (bagi ummatnya masing-masing) adalah realitas yang kebenarannya bersifat pasti atau mutlak meskipun sejumlah isi dari kitab suci itu belum “actually present” atau belum menjadi fakta aktual. Kitab suci tidak sekedar fakta melainkan realitas itu sendiri.
Dalam filsafat Heidegger, bisa kita sebut bahwa kitab suci itu Ada meskipun konsep-konsep yang terkandung di dalamnya belum mengada sepenuhnya.
Banyak dari ajaran dari kitab suci, ambil contoh surga dan neraka, belum menjadi fakta aktual bagi manusia meskipun surga dan neraka adalah realitas yang diyakini keberadaannya dan kebenarannya.
Persoalannya disini bukan pada kitab suci dan kandungannya melainkan pada keterbatasan metodology dalam pendekatan scientifik dalam proses pembuktian.
Tentu saja belum adanya bukti (evidence-based) tidak membuat sesuatu serta merta menjadi salah, keliru dan kehilangan legitimasi kebenarannya. Maka menurut saya pernyataan Rocky yang menyatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, gugur dengan sendirinya oleh penjelasan yang dia buat sendiri.
Tentu saja dalam dunia akademik, kekeliruan bisa dan boleh terjadi sebab setiap argumentasi dan kerangka berfikir pasti punya keterbatasan.
Zain Maulana
Leeds, 8 Februari 2019