Oleh Fahd Pahdepie
Penulis, Entrepreneur
“Saya tidak bisa bayangkan kalau di sebuah toko buku, Alquran diletakkan di rak fiksi bersama novel, dongeng, kumpulan cerpen dan karya fiksi lain. Bisa didemo toko buku itu.” Tulis Tuan Guru Bajang (TGB) dalam keterangan persnya, Jumat, 8 Februari 2019.
Bagi saya, sejauh ini, inilah argumen tarbaik untuk membantah Rocky Gerung dalam polemik ‘kitab suci itu fiksi’. Secara tegas, namun jenaka, TGB tidak mempersoalkan benar atau tidaknya argumen Rocky, tetapi menyoal kekeliruan Rocky dalam melakukan klasifikasi. Kitab suci di rak fiksi di toko buku ini akan membantu kita bagaimana mengurai dan mendudukkan masalah ini.
Di antara kecerdasan manusia yang membedakannya dengan binatang, bahkan membawanya ke puncak piramida rantai makanan, adalah kemampuan memberi nama/label dan melakukan klasifikasi.
Manusia bisa membedakan satu objek dengan objek lainnya dengan melakukan penamaan dan label. Tidak berhenti di sana, manusia juga menentukan nilai dan hirarki dari objek-objek itu dengan melakukan klasifikasi atau pengelompokkan.
Dari sana kita membentuk tatanan masyarakat dengan segala sistem nilai yang ada di dalamnya. Orang-orang memiliki nama, julukan, marga, suku, dan seterusnya—lengkap dengan pengelompokkan yang diterapkan sesuai tata nilai tertentu. Ayah berbeda dengan ibu, ummat berbeda dengan nabi, kopral berbeda dengan jendral, masyarakat berbeda dengan pemimpin, Jawa berbeda dengan Sunda, Indonesia berbeda dengan negara-negera lainnya.
Penamaan dan pengelompokkan itulah yang membuat kita bisa membentuk sebuah tatanan masyarakat, membangun tata nilai, hingga mengatur ‘rules of the game’ yang disepakati bersama (hukum, adat, konsensus, dan lainnya). Upaya ini terus berlanjut dan membentuk kebudayaan kita saat ini: fashion, musik, sastra, seni, dan lainnya.
Bayangkan dunia tanpa tatanan semacam itu. Bayangkan jika manusia tak memiliki kemanpuan untuk melakukan penamaan dan klasifikasi. Kita akan hidup seperti binatang, tanpa sistem nilai dan tata aturan yang jelas, tanpa hukum dan kebudayaan yang disepakati bersama. Kita akan kebingungan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah.
Bagi saya pernyataan Rocky Gerung yang menyatakan bahwa ‘kitab suci itu fiksi’ keliru bukan di tataran konsep atau abstraksi. Tak perlulah membela diri dengan keukeuh menyebut bahwa fiksi itu bagus, karena fiksi adalah ‘energi untuk membangkitkan imajinasi’, dan berlindung di balik klaim bahwa yang buruk itu ‘fiktif’.
Tak perlu juga mengatakan bahwa semua orang yang tidak setuju pada argumen Rocky adalah dungu, kurang berpendidikan, tidak berakal sehat dan seterusnya. Seraya terus meyakinkan bahwa pendapat Rocky hanya bisa diuji di ruang akademik, di kampus, di kelas filsafat…
Yang jelas, argumen Rocky gerung keliru karena ia menabrak secara ugal-ugalan klasifikasi yang sudah mapan, yang sudah disepakati secara umum, yang telah menjadi konsensus. Apakah berarti kesepakatan itu harga mati dan tidak boleh digugat? Tidak juga sebetulnya.
Namun, tersebab klasifikasi ‘mana yang fiksi’ dan ‘mana yang nonfiksi’ itu sudah menjadi hasil dari sebuah perjalanan panjang peradaban dan telah menjadi ‘pengetahuan masyarakat’, Rocky dan pendukungnya tak bisa memaksakan diri dengan argumen-argumen yang arogan serta merendahkan pihak lain. Juga, bukankah dengan terus berargumen bahwa pendapatnya merupakan argumen akademis yang hanya bisa diuji di kampus, bukan di tempat lain, juga merupakan sebuah klasifikasi?
Menurut saya, pendapat Rocky keliru. Ia telah melakukan kesalahan. Dan itu wajar saja. Bahkan filsuf besar yang telah menghasilkan karya kanon sekalipun, bisa melakukan kesalahan, bukan? Bedanya, karena seorang filsuf sesungguhnya adalah orang yang mencintai kebijaksanaan (philo-sophia), banyak di antara mereka yang berani secara terbuka mengoreksi kesalahan proses abstraksi dan berpikirnya. Bahkan hingga menulis buku baru untuk mengoreksi kesalahan yang lampau.
Di sini, bagi saya, Rocky hanya perlu meminta maaf saja. Mengakui bahwa ia kepeleset lidah dan tak perlu membela diri lebih jauh lagi. Sebab, semakin ia membela diri, semakin berantakan argumen yang dikeluarkannya. Semakin menabrak banyak hal. Termasuk berbagai klasifikasi yang sudah mapan dalam tubuh agama.
Namun, saya juga tak setuju masalah ini dibawa ke jalur hukum. Dilaporkan sebagai bentuk penistaan agama (blasphemy). Dikasuskan di kepolisian dan pengadilan. Cukup saja menjadi bukti, bahwa akal yang sehat adalah akal yang bisa membuat kekeliruan juga…
Pamulang, 8 Februari 2019