Sidang Kasus Pengadaan Lelang Korlantas Polri, Kuasa Hukum Penggugat Paparkan Tiga Pelanggaran

Sidang gugatan lelang pengadaan 250 unit sepeda motor BMW untuk Korlantas Polri kembali dilanjutkan pada Rabu (16/1) siang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Agenda sidang ke-14 tersebut antara lain penyerahan kesimpulan dari pihak penggugat dan tergugat kepada majelis hakim yang dipimpin oleh Oenoen Pratiwi.

Dalam kasus ini, PT Digital Praja Makayasa bertindak sebagai penggugat dan Korlantas Polri sebagai tergugat I serta PT Graha Qynthar Abadi menjadi tergugat II.

Hawit Guritno selaku kuasa hukum penggugat menyampaikan bahwa kesimpulan yang diserahkan kepada majelis hakim adalah berdasarkan sejumlah isu hukum sebagaimana yang dimuat dalam gugatan tanggal 25 Juli 2018 dengan register perkara nomor 173/G/2018/PTUN-JKT.

Pertama, selama proses penetapan pemenang lelang tidak pernah diumumkan oleh Korlantas Polri atau tergugat, baik secara online maupun aplikasi LPSE serta secara offline dengan mengirimkan pengumuman kepada peserta lelang yang memasukkan dokumen penawaran.

Dugaan pelanggaran yang ke-dua yakni, dalam dokumen pengadaan barang tidak mensyaratkan adanya kewajiban bagi peserta untuk menawarkan kendaraan bermotor roda dua 1.200cc dengan merek BMW.

“Namun faktanya Korlantas Polri menambahkan persyaratannya sehingga PT Digital Praja Makayasa kalah dalam lelang tersebut. Alasannya tidak ada surat dukungan importir kepada penyedia dan ATPM kepada importir untuk pilihan pertama (BMW) yang ditawarkan,” ujar Hawit Guritno.

Dokumen spesifikasi teknis kendaraan bermotor roda dua 1.200cc yang diminta oleh Korlantas Polri terbukti mengarah kepada spesifikasi merek BMW dengan tipe GS 1.200cc Exclusive/Rally (K50). Akan tetapi pada gambar model motornya justru mengarah pada BMW tipe GS 1.200cc Adventure (K51).

“Spesifikasi teknis motornya mengarah ke BMW sebagaimana disebutkan secara jelas pada dokumen spesifikasi teknis ketiga lelang yang sebelumnya dibatalkan. Pada lelang terakhir, kata BMW dalam dokumen dihilangkan tapi spesifikasi tetap mengarah ke merek BMW,” ujarnya.

Dugaan pelanggaran yang ke-tiga dapat dilihat dari penetapan pemenang lelang, yakni PT Graha Qynthar Abadi. Padahal, harga yang ditawarkan oleh PT Digital Praja Makayasa jauh lebih murah dengan selisih hampir Rp 5 Milliar.

“Alasannya kami digugurkan karena tidak punya surat ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek). Ternyata di persidangan terbukti juga bahwa pemenang lelang tidak mendapatkan surat dukungan ATPM untuk merek BMW. Dia dapatnya hanya surat Agen Pemegang Merek (APM). Saksi-saksi yang diajukan sudah menjelaskan bahwa ATPM dan AOM adalah dua hal yang berbeda. Tetapi yang dimenangkan justru dia dengan harga yang lebih mahal ini,” tutur Hawit Guritno.

Ia mengakui bahwa kliennya juga tidak memiliki ATPM. Namun, PT Digital Praja Makayasa telah menawarkan merek lain dengan spesifikasi yang menyerupai persyaratan dari panitia.

“Logika berpikirnya, sama-sama tidak punya ATPM tapi kenapa yang dimenangkan adalah harga yang lebih mahal. Aneh tidak? Ya jelas aneh dong. Kami menduga ada suatu pelanggaran di sini,” katanya.

Selain itu, panitia juga diduga mencampuradukkan metode pelelangan umum prakualifikasi dengan pascakualifikasi. Saksi ahli yang dihadirkan yakni Wisnu Setyo Wijoyo telah menjelaskan bahwa kedua metode lelang tersebut tidak boleh dicampuradukkan.

Di lain pihak, Ade Warman yang merupakan kuasa hukum dari tergugat menyampaikan bahwa pihaknya berkesimpulan gugatan yang dilayangkan penggugat bersifat prematur.

Alasannya, apabila penyedia barang dan atau jasa maupun masyarakat umum tidak puas terhadap proses lelang, maka dapat mengajukan pengaduan ke Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau Inspektorat terkait.

Pengaduan tersebut tentunya harus disertai dengan bukti-bukti indikasi penyimpangan yang kemudian akan diverifikasi untuk kejelasan dan substansi pengaduannya. Selanjutnya, pengaduan akan ditindaklanjuti oleh APIP atau Instansi yang berwenang.

Setelah APIP melakukan proses penindaklanjutan, menganalisa pengaduan, barulah kemudian APIP yang akan menentukan apakah perlu dilanjutkan ke aparat penegak hukum atau cukup ke pimpinan instansi bersangkutan sesuai dengan Pasal 117 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010.

“Poin utama adalah kami menyatakan gugatan penggugat itu prematur. Harusnya melalui APIP terlebih dahulu. Jadi bukan ke PTUN atau ke polisi atau ke Jaksa atau ke KPPU. Jadi prosedur itu harus dilalui. Jelas ini salah alamat, terlalu pagi-pagi bawa ke PTUN. Harusnya nanti. Di dalam Pasal 117 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 itu jelas bahwa APIP itu akan memeriksa apabila laporan tersebut beralasan. Kalau laporan tidak beralasan maka APIP tidak akan periksa,” kata Ade Warman.

Pernyataan ini lalu dibantah oleh Hawit Guritno selaku kuasa hukum penggugat. Ia menegaskan bahwa sebelum melayangkan gugatan ke PTUN, pihaknya telah menempuh prosedur melalui APIP sesuai dengan aturan dalam Pasal 117 Perpres Nomor 54 Tahun 2010.

Setelah sanggahan ditolak, tidak ada lagi yang namanya upaya lanjutan berupa sanggahan banding. Sebab, Perpres Nomor 4 Tahun 2015 yang merupakan pengganti dari Perpres Nomor 54 Tahun 2010, menyatakan bahwa sanggahan banding sudah tidak ada.

“Fakta hukum yang ada baik dari keterangan ahli kemudian keterangan saksi, memang sanggahan banding sudah tidak ada. Jadi setelah sanggah, tanpa kami pun melakukan pengaduan ke APIP, bisa langsung mengajukan gugatan ke PTUN,” ujar Hawit Guritno.

Sidang selanjutnya dijadwalkan akan digelar dua pekan kemudian tepatnya pada Rabu (30/1) pukul 11.00 WIB dengan agenda pembacaan putusan.