Penembakan 31 pekerja PT Istaka Karya di Nduga, Papua, oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) diduga dilatarbelakangi oleh masalah kesejahteraan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Rakyat Cinta (DPP Gercin) NKRI, Hendrik Yance Udam saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Papua Membara, Ada Apa Dengan Papua?’ di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Jumat (14/12).
Pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita dia, telah membawa perubahan yang besar di Papua melalui pemerataan pembangunan, terutama di bidang infrastruktur.
Manfaat berbagai proyek infrastruktur yang telah dibangun oleh pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat Papua dalam jangka panjang.
Akibatnya, tegas Hendrik, Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun KKB merasa hal itu dapat menghambat perjuangan mereka untuk memisahkan diri dari NKRI.
“Kenapa? Karena masyarakat Papua akan semakin mencintai Indonesia. Selama ini Papua diperlakukan seperti anak tiri dan tiba-tiba pemerintahan Jokowi melakukan pembangunan besar-besaran di seluruh Nusantara termasuk Papua. Tentu saja KKB melihat perjuangannya menjadi semakin sulit, mereka tidak senang Papua sejahtera,” kata Hendrik.
Keberhasilan pemerintah Indonesia mengambil-alih 51 persen saham PT Freeport turut mendalangi motif tersebut. Itu sebabnya konflik di Papua kembali memang akibat ketidaksenangan KKB terhadap sejumlah kemajuan tersebut lantas menjadi-jadi.
“Kelompok ini cukup eksis ketika saham PT Freeport diambil-alih oleh Indonesia. Di saat Jokowi memimpin, tiba-tiba gejolak kembali terjadi. Ada apa? Saya tidak mau mereka bersuara untuk OPM. Saya lihat OPM sudah tidak ada, yang ada hanyalah kelompok sipil bersenjata dengan motif kesejahteraan tapi mereka menggunakan ideologi OPM,” tutur Hendrik Yance Udam.
Sebagai putra dan aktivis Papua, ia paham betul persoalan yang terjadi di daerahnya. Diperlukan sebuah kebijaksanaan untuk menyelesaikannya agar tidak terulang lagi atau malah semakin parah.
“TNI dan Polri perlu lebih serius lagi hadir di Papua untuk memberikan rasa aman. Hoax juga berperan dalam memperparah konflik di Papua. Perlu pendeteksian dini dari aparat sehingga kejadian-kejadian seperti ini dapat diantisipasi,” katanya.
Sementara itu Aznil Tan selaku narasumber dari kalangan aktivis ’98 mengutuk keras kejadian penembakan sadis di Papua. Kejadian tersebut tergolong pelanggaran HAM berat yang melukai hati segenap bangsa Indonesia.
“Negara harus berani melaporkannya ke Pengadilan HAM internasional. Menyikapinya juga harus hati-hati. Sebab, KKB ini menjadikan masyarakat sebagai tameng atau bentengnya. Untuk mencegah jatuhnya korban sipil, harus melalui pendekatan humanisme atau kemanusiaan. Jangan sampai rakyat biasa, wanita dan anak-anak menjadi korban,” ucap Aznil Tan.