Aspirasi politik NU kultural berbeda dengan NU struktural seperti yang tercermin dalam pilkada maupun pilpres. NU Kultural selalu menang dalam perhelatan politik.
“Cara bermanuver NU strukrural sering kali tidak nyambung dengan aspirasi dan rasionalitas apalagi nurani NU kultural yang kemudian menimbulkan ketegangan dan kekalahan di pihak struktur,” kata pengamat politik Muchlas Sarkun dalam pernyataan kepada suaranasional, Kamis (27/9).
Sarkun mencontohkan di Pilkada DKI, di mana elit PBNU dan banomnya mendukung Ahok meskipun samar samar, begitu juga di Jatim bahkan terang terang PBNU, PWNU plus PKB dukung Gus ipul, sementara di Jateng PWNU yang dekat PKB juga dukung Ida.
“Pertanyaannya mengapa calon yang didukung struktural NU selalu kalah?” tanya Sarkun.
Sarkun mengatakan, NU struktural bisa mengalami kekalahan di Pilpres 2019 jika tidak bisa menyakinkan NU Kultural.
“Untuk meyakinkan basis kultur tidak gampang, dan akan cukup merepotkan, karena struktur hanya membawa sentimen emosional dan sesuatu yang tidak subtansial, bahkan terkesan mirip mirip pilkada DKI elit PBNU lagi lagi bawa isu ideologi,” papar Sarkun.
Menurut Sarkun, warga NU membutuhkan sesuatu yang substansial wujudnya kemaslahatan sebagaimana ajaran NU sendiri, yaitu pilihan akan jatuh pada pemimpin yang diyakini mempunyai kapasitas untuk membuat rakyat lebih sejahtera.
“Sementara calon yang ditenteng tenteng struktur PBNU justru kini telah membuat rakyat terasa lebih berat baban hidupnya setelah dicabutnya subsidi,” ungkap Sarkun.
Ia mengatakan, prestasi Jokowi dalam pembangunan infrastruktur, pemberian hari santri dan dukungan pada Islam Nusantara pembuaran HTI tidak bisa menutupi rasa kecewa akibat dicabutnya subsidi yang berdampak pada kelesuan ekonomi dan beban berat yang dirasakan warga NU.
“Masih kalah seksi dengan isu menumpuknya utang, dan membanjirnya TKA. Jika struktur PBNU tidak mampu membuat terobosan ginuin, maka nasib seperti di pilkada Jatim akan berulang kembali, bukan?” pungkasnya.