Kisah ‘Pertaubatan’ Ustadz Ahmad Sarwat dari ‘Gerakan Tarbiyah’

Perang pemikiran sewaktu masih jadi aktivis dulu, materi favorit kalau diminta mengisi daurah dan halaqah adalah Al-Ghazwul Fikri. Sering diterjemahkan menjadi Perang Pemikiran. Materi semacam ini menjadi sambal pedas yang paling hot dan nikmat dalam setiap daurah.

Demikian dikatakan Ustadz Ahmad Sarwat Lc, MA di akun Facebook-nya. “Sebab isinya seperti membongkar cara-cara berpikir musuh-musuh Islam, dengan segala kekuatan dan jaringan mereka,” jelasnya.

Kata Ahmad Sarwat, di masa jahiliyah seperti itu, validitas sumber materi sangat tidak penting. Lagian semakin tidak ada rujukannya, dianggap semakin bagus. Karena dakwah kita ini masih dalam masa-masa Mekkah yang ciri khasnya adalah dakwah siriryah, struktur kita rahasia, siapa saja teman dalam jaringan kita, itu rahasia.

“Istilah kerennya sirriyatuddakwah wa sirriyatut-tanzhim. Dakwahnya rahasia dan tanzim atau organisasinya pun rahasia. Semua demi amniyatu ad-dakwah : keamanan dakwah. Maka kita sejak awal ditarbiyah untuk tidak perlu bertanya dari mana sumber informasi suatu berita, termasuk materi-materi Al-Ghazwul Fikri. Dan lebih seringnya dulu saya ngarang-ngarang sendiri saja semua bahan materinya. Toh, tidak ada yang bertanya juga,” papar Ahmad Sarwat.

Pokoknya para kader ini tahunya cuma satu, TSIQOH TSIQOH dan TSIQOH. Ukuran level kader itu nomor satu adalah TSIQOH. Ini masuk dalam rukun bai’at yang ada sepuluh biji itu. والثقة فى منهج الجماعة هى أهم الشروط التى يجب أن يتحلى بها أبناء الجماعة وكيف هم يوافقون على بناء الثقة فى الجماعة. ولا بد كذلك من الثقة فى أهمية هذا التنظيم وهذه الجماعية فى خدمة هذا الدين، وفى إرجاع مجد الإسلام بعدما غاب عنه منذ زمن طويل، والثقة فى أن هذه الجماعية قد أصبحت فى حكم الضرورة لخدمة هذه الدعوة. فمن لوازم العمل الجماعى المنظم؛ الثقة فى قرارات الجماعة، واحترام هذه القرارات، والأهم أن الالتزام بها هو من قبيل الالتزام الشرعى، أو “مبدأ الطاعة العمياء”. ويجب أيضًا الثقة بالقادة والأمراء إلى حد طاعتهم والامتثال لهم، فهى أمر شرعى، فأحاديث النبى صلى الله عليه وسلم فى وجوب طاعة الأمير ولزوم الجماعة كثيرة، وواضحة وصريحة.

“Jadi dengan bekal TSIQOH itulah saya merumuskan banyak materi-materi Al-Ghazwul Fikri. Benar tidak benar, tidak jadi masalah. Kan kita lagi perang dan perang itu tipu daya. Membunuh saja halal kalau dalam perang, apalagi cuma sebar kabar bohong, ya hukumnya fardhu ‘ain. Apalagi pihak lawan pun melakukan kebohongan yang sama, masak kita diam saja tidak ikut-ikutan sebar berita bohong juga. Itu namanya bunuh diri massal,” ungkapnya.

Ia mengatakan, kalau mengenang masa-masa jahiliyah dulu, mau menangis. Bagaimana tidak, kita selalu dikondisikan dalam suasana lagi perang, perang dan perang. Dan tidak pernah terjawab kenapa kita harus perang? Lagian yang kita perangi itu ternyata orang Islam juga.

“Malah bapak ibu saya masuk dalam daftar yang harus saya perangi. Lha, mereka berdua kuliah di Mesir, kuliah di Azhar, jadi ustadz dan ustadzah di tengah masyarakat. Lho kok saya harus memerangi mereka? Apa salah mereka? Dosa apakah yang telah mereka perbuat sehingga harus masuk dalam daftar orang-orang yang diperangi, meski hanya sebagai perang pemikiran,” jelasnya.

Ahmad Sarwat mengatakan, para ikhwan bilang bahwa itulah bagian dari resiko perjuangan dan jihad kita. Bukan kah dahulu Nabi SAW juga berperang melawan keluarga beliau sendiri? Bukankah dalam Perang Badar, para shahabat saling berbunuhan dengan keluar mereka sendiri? Jadi kita harus siap untuk berperang melawan bapak ibu kita sendiri. Bukankah ketaatan kepada jamaah itu di atas segalanya?

“Dan untuk semua itulah antum berbai’at kepada kita, bukan? Inna llillahi wa inna ilaihi rajiuuuuu…..nnn Goblok banget ya saya mau saja dicocok hidungnya ikut-ikutan bai’at nggak jelas kayak gitu. Astaghfirullah…Astaghfirullah… Astaghfirullah,” pungkas alumni Lipia ini.