Oleh: Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Kontestasi pilpres semakin sengit. Lobi dan berbagai manuver dilakukan partai-partai pengusung capres untuk mencari siapa kandidat terbaik pendamping capres dari penguasa dan oposisi. Jokowi sedang menyeleksi pendamping terbaiknya. Hal sama tengah dialami Prabowo sebagai capres yang diusung oleh Gerindra, PKS, PAN, dan PBB. Mereka sedang menanti arahan Sang Imam Besar, Habib Rizieq Shihab untuk kandidat cawapres Prabowo.
Belakangan demokrat tengah mendekati Gerindra. Berharap AHY masuk dalam daftar bursa cawapres dari koalisi keumatan. Beberapa tokoh digadang-gadang masuk dalam bursa cawapres, diantaranya Mahfud MD, Anies Baswedan, Ahmad Heryawan, Zulkifli Hasan, Yusril Ihza Mahendra, Muhaimin Iskandar, Gatot Nurmatyo dan yang terbaru Moeldoko.
Tokoh-tokoh tersebut dianggap mampu menjadi pendamping Jokowi dan Prabowo pada pilpres mendatang. Hingga detik ini calon presiden yang digadang-gadang bersaing kembali masih Jokowi dan Prabowo. Belum ada titik terang akankah lahir calon presiden baru dari koalisi poros ketiga.
Minimnya calon pemimpin dalam bursa pilpres bisa jadi disebabkan adanya ketentuan Presidential Threshold yang mensyaratkan 20 persen suara partai di DPR atau 25 persen suara sah nasional. Ketentuan ambang batas ini akhirnya ‘memaksa’ partai-partai oposisi berkoalisi agar mencapai angka 20 persen. Saat ini uji materi tentang Presidential
Threshold dalam UU Pemilu sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi. Publik pun dibuat bingung dengan sikap partai dan politisinya. Terlebih, umat Islam cukup kecewa dengan merapatnya TGB Zainul Majdi mendukung Jokowi dua periode. Padahal, ia salah satu kandidat kuat capres bagi umat Islam. Terpesonanya umat dengan sosok penghafal qur’an tersebut menjadikannya calon kuat, namun apa dikata sikap politik mudah berubah. Apalagi di musim tensi politik yang tengah meninggi, apapun bisa terjadi. Begitulah hawa politik demokrasi, tak kuat iman, siap-siap masuk angin. Tak ada musuh ataupun kawan, yang tersisa hanya kepentingan.
Alotnya keputusan menetukan kandidat cawapres mengisyaratkan kepada kita bahwa alam demokrasi susah menentukan pemimpin terbaik. Bagaimana tidak, unsur kepentingan masih menjadi pertimbangan utama. Kita patut berkaca pada hasil pilkada serentak. Kemenangan Khofifah dan Ridwan Kamil menyiratkan bahwa ajang pilkada serentak ditujukan untuk tiket Jokowi menuju dua periode. Khofifah sesumbar siap menjadi juru bicara Jokowi. Ridwan Kamil pun mengungkapkan hal sama seperti Khofifah. Umat juga perlu waspada. Politik kepentingan masih terus mewarnai jalannya pemilu demokrasi.
Memang begitu jalan hidup demokrasi. Disinilah pentingnya kita melakukan kesadaran politik sesuai syariat Islam. Agar umat tak terjebak lagi dengan politik pragmatis yang tersaji dalam demokrasi. Pendidikan politik kepada umat harus terus digencarkan agar gerakan umat tak mudah tersandera oleh kepentingan partai. Pemimpin terbaik hanya lahir dari sistem terbaik pula, yaitu sistem Islam. Tetap kritis, tetap lurus berjuang demi tegaknya syariat Islam agar diterapkan.