Kenapa KH Said Aqil Siradj Menonjok Habaib?

Oleh: Abrar Rifai
Pengasuh Pondok Pesantren Babul Khairot Lawang, Malang

Said artinya bahagia, aqil berakal dan siradj berarti lampu. KH. Said Aqil Siradj adalah satu di antara tokoh Islam Indonesia yang tidak bisa diragukan lagi kebesarannya. Beliau saat ini menjabat Ketua Umum PBNU, organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Secara keilmuan, beliau tidak usah diperdebatkan lagi sebagai orang alim. Bertahun-tahun mondok di Lirboyo dan beberapa pesantren lainnya. Setelah itu melanjutkan pendidikan ke Universitas Ummul Quro Mekkah. Beliau bergelar profesor doktor.

Semua ilmu dan kedudukan yang beliau Kiai Said Aqil dapatkan, tidak lepas dari kesungguhan beliau. Sebagaimana ungkapan mahfuzhat, “Man jadda wajada.” Kiai Said belajar serius sekian lama dari pesantren ke pesantren hingga ke Mekkah. Untuk meraih kedudukan puncak di PBNU, beliau pun tidak ujug-ujug. Seingat saya, beliau sebelumnya menjadi wakil katib aam, katib aam dan beberapa jabatan lainnya. Hingga akhirnya terpilih sebagai Ketum PBNU sejak Tahun 2010 hingga kini.

Namun harus diingat, bahwa selain man jadda wajada, di pesantren juga ada bait mahfuzhat yang sangat terkenal, “Man izdada ‘ilman walam yazdad hudan, lam yazdad ilallahi illa bu’dan = Barang siapa yang ilmunya bertambah (banyak), tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia akan semakin jauh dari Allah!” Kita berdoa, semoga Kiai Said tidak masuk dalam kategori mahfuzhat ini. Bagaimanapun beliau adalah tokoh ummat, Ketum PBNU, oraganisasinya para ulama`.

Ada banyak sebenarnya pernyataan Kiai Said yang patut dipersoalkan. Jenggot, orang berjubah, aksi 212, takbir, keulamaan UAS dan lain sebagainya. Tapi, selama itu nyerempet-nyerempet hal yang bisa (terpaksa) dimaklumi, cobalah kita maklumi. Katanya, orang pintar itu kalau ceramah, ngomong kadang improvisasinya memang suka kebablasan. Tapi tidak untuk kesalahan beliau yang ini: Beliau telah dengan sadar menghina dan melakukan agitasi terhadap habaib di depan ribuan santri Lirboyo. Terlalu!

Kebiasaan saya, kalau mendapat kiriman potongan tulisan atau video yang berisi kontroversi, apalagi dilakukan oleh seorang tokoh, maka saya wajib mencari versi utuhnya. Begitu juga dengan video Kiai Said yang ini, mulai di grup-grup WA, FB sampai kepada beberapa Japri yang ditujukan kepada saya langsung, semuanya hanya potongan, penggalan. Karena isinya benar-benar menonjok habaib, saya segera mencari versi full-nya. Ketemulah dengan postingan Sri Rejeki di Youtube. Ceramah tersebut berdurasi 1 Jam, 26 menit, 27 detik.

Para habaib secara umum di kalangan NU, tidak terdapat khilaf bahwa mereka memang adalah benar-benar anak cucu Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama. Sanad mereka bersambung secara ilmiah kepada Rasulullah. Ada kantor resmi yang mencatatnya, diurusi oleh orang-orang yang tsiqah tentang pernasaban. Pun, sebagaimana yang saya tahu sendiri, anak-anak para habaib, terutama yang lelaki, biasanya sedari kecil sudah mulai hafal sand mereka sampai kepada Rasulullah.

Penghormatan kita terhadap habaib, cukuplah karena dilandasi pengetahuan kita bahwa ada darah Rasulullah SAW yang mengalir dalam tubuh mereka. Darah yang sama, yang dulu dibawa Rasulullah ketika mi’raj menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Bahwa mereka juga adalah manusia biasa, sebagaimana manusia lainnya, memang iya! Mereka bisa salah, bisa benar. Punya subyektifitas, punya kepentingan dsb. Sebagaimana mereka juga bisa marah dan bahkan mengumpat. Pun, di samping banyak yang alim di antara mereka, tentu tak sedikit pula yang tidak alim.

Bahwa kesalahan, ketidak-baikan, kemarahan, umpatan dll, yang dilakukan para habaib, sungguh kita pun mempunyai kewajiban untuk menasehati dan meluruskan mereka. Yang tidak berilmu di antara mereka, harus belajar. Dan kalau tidak sempat belajar, sebagaimana kita, mereka pun harus memilih taqlid kepada para ulama. Entah ulama itu dari kalangan habaib atau bukan.

Sebagai orang yang setiap hari berkumpul, berbincang, belajar dan berkhidmah kepada para habaib, saya pun mendapatkan pada diri beliau-beliau itu ajnas, asykal dan anwa’. Wajar, manusia! Namun, saya telah mengdoktrin semua anak saya dan murid-murid saya, bahwa anak cucu Rasulullah wajib dimuliakan. Apapun mereka. Kalau mereka salah, cukup kesalahannya yang kita sikapi, bukan kepada diri orangnya. Saya meyakini haqqul yaqin, bahwa orang yang kurang ajar kepada cucu Rasulullah akan (segera) dapat balak. Ini sudah saya buktikan pada beberapa orang yang saya tahu. Orang yang tidak saya tahu, tentu lebih banyak!

Maka, tonjokan Kiai Said kepada habaib, sungguh tidak bisa dinalar. Keterlaluan, kurang ajar dan malu-maluin beliau sebagai tokoh besar dan ulama besar. Karena sebenarnya yang menjadi pemicu tonjokan tersebut adalah hal yang tidak substansial. Berawal ketika beliau memberitahu santri Lirboyo, bahwa koordinator (yang katanya) MCA itu adalah (katanya) seorang habib bernama Muhammad Luthfi Al Habsyi. Ini pun masih saya telusuri, apakah Luthfi yang dimaksud benar-benar Al Habsyi.

“Salaman, cium tangan! Sampean mau cium tangan sama habib itu?” tanya Kiai Said kepada santri-santri Lirboyo. Ini sebenarnya pertanyaan (istifham) bukan untuk mendapatkan jawaban iya atau tidak. Tapi ini kalau di balaghah masuk kepada istifham tapi maksudnya nafi atau nahi. Artinya tidak atau jangan cium tangan! Ok, baiklah. Sampai di sini, kalau yang dimaksud Kiai Said memang begitu, ajakan untuk tidak hormat kepada penyebar hoax, sangat bisa dimaklumi. Walau yang bersangkutan adalah seorang habib sekalipun.

Tapi, ternyata Kiai Said tidak berhenti di situ. Beliau melanjutkan omongannya, bercerita pengalamannya ketika hadir di suatu acara di Pasuruan, beliau tidak begitu dihiraukan hadirin karena hadirin lebih menghiraukan seorang habib yang datang dari Yaman. Menurut kesaksian banyak orang, acara tersebut di Sidogiri. Sedang habib yang dimaksud adalah Habib Abu Bakar Al Adeni Al Masyhur.

“Santri-santri berebut mencium tangannya. Padahal dia ini, guru Ibtidaiyyah. Bukan ulama besar. Kalau ulama besar, gak mungkin keluyar-keluyur nang (ke) Indonesia. Kalau ulama besar di Arab, sibuk mimpin pesantren, madrasah, fakultas atau universitas. Sibuk mimpin masyarakat. Sing (yang) keluyar-keluyur merene (kesini) iku (itu), pakai sorban, pakai gamis itu guru Ibdtidaiyyah!”

Ya Allah, Habib Abu Bakar itu seorang ulama besar. Beliau pimpinan banyak lembaga pendidikan di Yaman maupun di luar Yaman. Beliau juga adalah seorang doktor. Beliau telah menulis 150 buku dalam berbagai disiplin ilmu, diantaranya Fiqh Tahawwulat yang menjadi konsen kajian beliau. Tapi, kalau seandainya habib yang dimaksud itu pun bukan Habib Abu Bakar Al Adeni, pantaskan seorang Kiai Said Aqil melontarkan cercaan yang demikian?

Saya ingin mempertegas, bahwa para Habaib yang banyak datang ke Indonesia: berziyarah, tabligh, dakwah dan munaqasyah, selain Habib Abu Bakar, banyak lagi lainnya. Di antaranya, Habib Umar Bin Hafizh, beliau adalah pimpinan Darul Musthafa, pesantren besar di Tarim. Habib Salim Asy Syatiri (almarhum), beliau adalah pimpinan Rubath Tarim, pesantren tua di kota tersebut. Adalagi Habib Abdullah Baharun, beliau adalah Rektor Universitar Al Ahqaf Hadhramaut. Dan beberapa orang lainnya.

Jadi, bukan orang-orang sembarangan seperti yang dimaksud oleh Kiai Said. Mereka pun datang ke sini, bukan ujug-ujug, apalagi keluyuran tidak jelas tujuannya. Mereka datang karena diundang oleh orang Indonesia, yang mayoritas adalah santri dan mahasiswa mereka di Yaman. Sebab Darul Musthafa, Rubath Tarim dan Universitas Al Ahqaf, adalah tiga lembaga pendidikan yang menjadi tujuan banyak anak-anak Indonesia. Sudah banyak di antara mereka yang lulus dan kembali ke Tanah Air. Mereka bertebaran di berbagai kota, memangku majelis-majelis taklim, memimpin pondok-pondok pesantren dan mengajar di berbagai sekolah dan perguruan tinggi.

Jadi, mempersoalkan kedatangan para habaib dari Yaman ke Indonesia, dan apalagi diungkapkan dengan diksi-diksi agitatif, sungguh adalah hal yang tidak mendapatkan pembenaran sama sekali. Saya termasuk yang menikmati ceramah Kiai Said Aqil pada acara Haflah Akhirissanah di Lirboyo tersebut. Syarat muatan ilmu. Sayang seribu sayang, semuanya akhirnya berubah menjadi kehinaan, karena Kiai Said tidak bisa menjaga hati. Sehingga hasud yang seharusnya bisa beliau tutupi, akhirnya tumpah mengotori banyak sekali kebaikan beliau. Smg KH Said Aqil Siradj ke depan semakin mampu menjaga hatinya.yg bisa saya lakukan sebagai pengagum beliau dengan doa “Semoga Allah memberi hidayah kepada beliau”.