Hari Moekti, Pendakwah dan Zuhud

Oleh AS Nugroho

Hari Moekti meninggal Minggu (24/6) malam di usia 61 tahun. Satu kenangan yang membekas bagi anak 90-an adalah lagu “Hanya Satu Kata”. Saya tahu nama dia karena lagu itu. Lagunya sederhana, tapi musiknya enak didengar. Bekas rocker yang selalu nyentrik saat menyanyi; bisa dilihat di YouTube, klip video “Nona Nona Nona” yang muncul tahun 1989 di TVRI.

Rasanya tak menyangka jika di kehidupan selanjutnya dirinya berubah mejadi pendakwah. Sebuah keputusan yang sangat berisiko dan barangkali malah mematikan rezeki jika dilihat dari segi materai. Terlebih, saat itu ia berada dalam karier yang bagus. Siapa yang berani meninggalkan honor Rp 50 juta sekali pentas di malam tahun baru-—-sebuah honor fantastis kala itu, barangkali saat ini bisa ratusan hingga miliaran rupiah. Bahkan, ia mengaku sempat “panas” ketika mendengar Anggun C Sasmi diberi honor Rp 6o juta saat tahun baru.

Banyak musisi yang melakukan “metamorfosis” dalam hidupnya. Perubahan yang barangkali dianggap radikal sebab, secara matematis, sulit rasanya menganalisis mereka yang melakukan perubahan dari kehidupan yang tadinya “liberal” menuju “kesalehan”. Sulit menentukan variabel apa yang mempengaruhi mereka. Itu sama sulitnya ketika kita membuat ukuran atau penilaian terhadap sebuah perilaku “kesalehan” itu sendiri.

Namun, apa yang dilakukan mereka yang “berhijrah”—demikian istilah yang biasa dipakai di kalangan mereka yang telah mendapatkan hidayah—harus dilihat dari sisi lain.

Istilah “hijrah” ini sempat menjadi cibiran apakah benar perubahan itu sebagai bentuk hijrah? Sebab, kata pengkritik itu, hijrah adalah sebuah mobilitas bukan perubahan bentuk. Namun, Badan Bahasa menyerapnya di KBBI menjadi “perubahan ke arah yang lebih baik.”

Ketika terjadi serangan bom bunuh diri di Surabaya, 13 Mei lalu, ada sindiran untuk kalangan artis yang telah berhijrah beberapa tahun belakangan. Serangan bom itu diyakini ulah sebuah organisasi yang menyebarkan radikalisme; ciri-cirinya menggunakan ayat-ayat agama sebagai pembenaran serangan bom tersebut.

Ada sebagian warganet berkomentar mengapa para artis itu tak bersuara terhadap kejadian brutal tersebut? Pertanyaan ini sebetulnya tak pas juga; mengapa hanya pada artis itu yang dibebankan “sebuah standar penilaian” terhadap sebuah aksi teroris? Apakah dengan tak berkomentar lantas mereka juga mendukung paham radikal?Mengapa yang disudutkan para artis itu?

Ada warganet yang beranggapan bahwa ustad-ustad yang biasa dipanggil kalangan artis yang hijrah itu, konon, juga “menanamkan benih radikalisme dalam ceramah-ceramah di komunitas elitenya”. Maka, dianggaplah para artis itu tak banyak berkomentar. Radikal itu seperti apa? Memangnya para artis itu memiliki politik tertentu terhadap negara ini, misalnya, mengubah ideologi atau menurunkan presiden, begitu?

Dan, cibiran muncul seperti di bawah ini:

“Kalau hijrah-mu, wahai para artis, membuat kamu justru mendukung kelompok2 teror dan ideologinya, segera balik Iagi. Itu bukan hijrah yg dimaksudkan kanjeng Nabi.”

Atau

“Artis-artis yang udah hijrah ini. Aman. Tetep laku. Endorsan banyak. Sering posting ustad favorit. Ternyata ustadnya menanam bibit radikal. Terus diem aja. Tida menyuarakan apapun. Takut dibully. Pengennya dipuji terus.”

Jika banyak yang mencibir sebuah kebajikan, lantas sudahkah kita sendiri berbuat kebajikan yang bisa memberikan inspirasi bagi seseorang untuk berbuat bajik pula? Saya bukan mendukung artis, tapi mencoba berpikir adil dari sisi lain. Apakah tidak ada kebajikan dari keputusan hijrah itu?

Jangan hanya karena perspektif agama — perspektif ini maksudnya aliran entah itu Muhammadiyah, NU, Persis, pokoknya bukan menyangkut akidah— seseorang itu berbeda dengan kita, seolah-olah perilaku agama kita ini lebih baik dengan liyan. Karena dia telah berbuat kebajikan lantas kita tak bisa berbuat adil: apakah ini yang kita pelajari sebagai manusia intelektual? Minimal, kita bisa adil dengan mengambil hikmah atau nilai dari keputusan hijrah itu.

Kita kembali ke kehidupan Hari Moekti. Saya justru tertarik dengan kehidupan Hari Moekti. Jika “dibandingkan”—bukan berarti ada benar dan salah—dengan artis muda yang hijrah, Hari Moekti memilih jalan hidup yang benar-benar total berbeda, tak mau lagi bernyanyi sebagai musisi, meski ia tak pernah mengatakan musik itu haram.

Hari hidup di rumah kontrakan, begitu kata dia, di sebuah video di YouTube, juga tidur dengan kasur di lantai. Pendek kata, kehidupan Hari tak mencerminkan artis yang pernah mengguncang jagat musik Bandung dan Jakarta.

Hari berubah karena faktor kegelisahan yang dialaminya sejak 1980, tapi baru mendapat jawaban dari kegelisahan itu pada Ramadhan 1993. Begitu ia memutuskan berhenti total dari musik, kemiskinan ia jalani. Dari situlah, ia bertemu dengan para pendakwah dan di jalur inilah selanjutnya ia kembali terkenal dengan “hidup baru”.

Banyak yang hijrah, tapi sedikit yang benar-benar “zuhud”. Saya tak berani mengatakan bahwa perilaku Hari “zuhud dari materi dan duania.” Istilah zuhud untuk Hari dan komunitasnya, Hizbut Tahrir Indonesia, bisa jadi kurang diterima. Hanya, saya membaca nilai zuhud itu ada dalam dirinya. Ini bisa debatable, Anda bisa tak setuju pandangan saya.

Justru, berkaca pada Hari kita bisa menemukan bentuk hijrah yang indah. Kita bisa tidak sepakat dengan “aliran kelompok yang diikutinya”—ini hanya persoalan perspektif dalam beragama, bukan beda dalam akidah. Jangan lantas mengartikan saya mendukung HTI, tapi mari kita renungkan: Anda kaya, punya uang banyak: mau sedekah apa-apa bisa: ke yayasan ini, ke pesantren itu, bisa naik haji atau umrah berkali-kali, tapi Anda memilih meninggalkan ladang penghasilan yang menggiurkan itu.

Perkara ada perspektif politik setelah dia menjalani kehidupan barunya, itu hal lain. Semua bisa tak sepaham dengan pilihannya, termasuk ketika dirinya cukup keras terhadap Ahok. Namun, satu hal penting yang saya bisa ambil dari Hari Moekti ialah keistiqamahan dia dalam jalan agama yang ia yakini.

Semoga para artis yang berhijrah bisa mengikuti dirinya. Ia hanya berpatokan pada lima hal setelah hijrah: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sederhana, memang, hanya mengamalkan lima hal itu, tapi praktiknya luar biasa susah.

Al Fatihah untuk Kang Hari Moekti….

Bukit Hijau Ciomas
28 Juni 2018

Tabik,
AS Nugroho

Simak berita dan artikel lainnya di Google News