Jokowi bisa Kalah Balapan 2019

Jokowi (IST)

Oleh: Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)

Beberapa hari yang lalu komunikasi dengan salah seorang sahabat, akhirnya bisa janjian bertemu di Cirebon. Malam hari, pukul 21.06 memesan tiket Eksekutif kereta Tegal Bahari melalui akun traveloka. Harga tiket Rp. 179.992. Pada pagi hari setelah sholat subuh, siap-siap berangkat ke Stasiun Gambir.

Sabtu pagi, dari rumah sepanjang perjalanan biasa menikmati macet jalanan Jakarta dipenuhi oleh banyak masyarakat bersama keluarga menikmati rencana weekend mereka.

Selama 1,5 jam perjalanan busway. Di samping tempat duduk saya dibusway, bapak Sudikarna namanya, planga plongo lihat pembangunan MRT dan LRT Jakarta. Sambil perhatikan macet di jalur busway. Kemudian sesekali dia duduk kembali, sambil katakan pada ku “harusnya Ibu Kota Indonesia dan rakyat Jakarta ini dipindahkan, disebar ke berbagai pulau dinegeri ini. Agar tidak numpuk di Jakarta. Apalagi ditambah bangun MRT dan LRT ini, tak ada keuntungan sama sekali, malah bikin orang konglomerat punya meroyek dapat untung. Kalau rakyat nikmati apa. Sudah macet tambah bangun lagi, ya tambah macet juga. Apalagi Jakarta susah dikelola karena rakyatnya bandel-bandel tak mau diatur. Begitu kata Sudikarna diatas Busway.

Tak lama kemudian, tiba di Stasiun Gambir. Langsung masuk ke Caffe Kopi Tiam lantai dua stasiun Gambir. Sambil seruput kopi. Jam 11.00 Kereta Tegal Bahari berangkat. Aku pun beranjak naik dan duduk sebelahan dengan seorang wanita bernama “Berna Sitompul”, kereta eksekutif 3 A1 seat number 9A.

Wanita tersebut asal dan kelahiran Tapanuli Selatan. Tinggal di Babakan kabupaten Cirebon. Ke Jakarta setelah menjenguk anaknya bekerja di sebuah perusahaan di Tanggerang. Berna ini secara kebetulan simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Selama berbincang dan diskusi tentang pekerja yang dialami anaknya di perusahaan pemiliknya China. Selalu mendapat perlakuan tidak enak. Bukan, kepalang lagi. Berna juga menyinggung tentang pemerintahan Jokowi yang kurang memberikan perhatian pada keselamatan pekerja. Berna singgung mulai dari bangun infrastruktur yang banyak makan korban karena jatuh hingga soal bejibunnya tenaga kerja yang masuk Cirebon tanpa ada batasan sehingga menimbulkan banyak kecemburuan.

Berna cerita hingga saya turun pamit di stasiun Kejaksaan Cirebon. Setelah turun itu, saya berjalan melewati lorong stasiun. Naik tangga menuju pintu keluar ke arah kiri. Kemudian, dipintu keluar di sambut oleh teriakan para “Pengendara Becak, Ojek Manual”. Mereka berkata sambil sorak “Pak becak, becak, becak, kemana pak, becak pak. Ojek pak, kemana pak?. Pak saya ingatkan bapak, kalau pesan online grab, gojek tidak boleh, awas pak, bisa ribut.”

Akhirnya, saya memilih menghubungi sahabat saya sendiri. Dalam 30 menit akan dijemput. Nah, rentang waktu menunggu sahabat itulah. Suara teriakan kesal terhadap presiden Jokowi muncul “Jokowi bohong, Jokowi pencitraan, Jokowi merakyat, Jokowi matikan rakyat miskin, Jokowi aja suru ngojek”.

Itulah, sebagian teriakan kesal para pencari nafkah keluarga. Rata-rata mereka umur 40-50 tahun yang sudah punya cucu, anak, dan menantu. Teriakan itu, pertanda sangat kesal dengan Presiden Jokowi atau pemerintahan sekarang. Pasalnya, Ojek online menghabisi pendapatan mereka di sekitar stasiun Kejaksaan Cirebon.

Saya wawancara sedikit mereka, mengapa teriak begitu. Mereka menjawab sangat senada satu sama lain dan nada hentakan suara jawabannya pun sangat kelihatan kesal sekali dengan pemerintahan Jokowi – Jk. Saya tanya “apa yang bapak – bapak rasakan?. Mereka menjawab “mas, dulu di stasiun ini kami enak dapat rezeki 100 ribu perhari. Sekarang setelah ada ojek online (Grab dan Gojek) semua kita susah dan jarang sekali kami.bisa makan, sulit makan mas”. Kata Bani

Kemudian, Ondang. Sala satu penarik becak, katakan “Mas, dulu dipintu utara stasiun ini pernah terjadi konflik dan perkelahian hebat gara-gara pemerintah tidak bisa mengatur”. Kata Ondang.

Saya hanya bisa mendengar dan melihat fakta itu. Bahwa ketimpangan yang terus dalam di kehidupan masyarakat kian tumbuh. Belum ada solusi dari.pemrrintahan Jokowi. Walaupun transportasi online pernah demo depan Istana untuk meminta kejelasan regulasi dari pemerintah.

Begitu juga, terjadi di Stasiun balapan. Kasusnya hampir sama yakni kecemburuan sosial dan pendapatan maupun akses antara satu dengan lainnya.

Bahkan, saat berkunjung ke Solo pada tanggal 11 Januari 2018 lalu, keluh kesah para pemburu penumpang ini juga sama. Bahkan, sala satu pembawa becak berdiskusi dengan saya di atas becaknya.

Saya tanya “Mbah Srajo (namanya), apakah bapak semakin sulit atau semakin mudah dapat penumpang di stasiun Solo Balapan mbah?”. Jawabannya “Wes wes wes pak, sangat susah sekali. Sekarang sudah susah dapat muatan karena saingan karo online”.

Kemudian saya tanya lagi “apakah hari siang ini, baru saya penumpangnya?”. Jawabannya “Sudah dua orang karo jenengan pak”. Ya, saya merasa iba saja. Akhir saya berikan ongkos 50.000 untuk mengobati rasa gundahnya bersaing dengan ojek dan mobil online.

Terakhir, saya tanya Srajo “Apakah masyarakat Solo masih mau memilih Jokowi di 2019 nanti, kalau menurut pak Srajo bagaimana?. Jawabannya sangat pas sekali dengan judul tulisan diatas bahwa “Kalau Jokowi tidak cepat atasi online ini, maka bisa jadi Kalah Balapan di 2019 Karo Prabowo”. Kata Srajo memberikan Jawaban cerdasnya kepada saya.

Kira – kira itulah pesannya, bahwa penting untuk menata kehidupan masyarakat yang merasa sangat timpang sekali.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News