Proses hukum terhadap Sukmawati tidak bisa dihapus walaupun yang bersangkutan sudah meminta maaf terhadap umat Islam.
“Jika bicara normatif hukum permintaan maaf pelaku pidana tidak menghapus perbuatan dan prtanggungjawaban pidananya,” kata pengurus pusat MUI Irjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo kepada suaranasional, Kamis (5/4).
Ada alasan subyektif yang bisa menghapus pertanggung jawaban hukum pada pelakunya yaitu jika pelakunya gila yaitu KUHP pasal 44.
Kata Anton, dalam segi agama pun demikian permintaan maaf tetap harus diikuti sanksi-sanksi hukum yg lain misalnya dalam hukum qisos karena melukai hidung balasannya lukai hidung pelakunya melukai tangan juga begitu.
“Apalagi membunuh. Pelakunya juga harus dibunuh kecuali pihak korban memaafkannya tetapi harus ada hukum kompensasi yang lain biasanya dengan denda dan lain-lain yang ditentukan pihak korban dan kalau terkait kepentingan umum dengan hukumn berlapis,” jelasnya.
Penerapan hukum seperti ini juga banyak dilakukan di negara-negara lain seperti Amerika, artis Zsa Zsa Gabor menampar polisi yang menilangnya ia tak dihukum kurungan tetapi didenda 125.000 USD plus kerja sosial selama 2 tahun, diskors dr profesinya selama 1 tahun.
Anton menegaskan, kasus Sukmawati sangat serius derajat keresahan sosialnya dan meluas seta ancaman pidananya sangat berat.
“Tak perlu ada aduan, polisi bisa lakukan tindakan hukum.Apalagi dalam situasi dan kondisi yang sedang terjadi kasus-kasus hate speech Bu Asma Dewi, Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Bambang Tri, Buni Yani yang tidak jelas saja bisa langsung dipenjara,” paparnya.