Red notice Habib Rizieq yang dikembalikan pihak interpol bisa merusak citra Indonesia di dunia internasional karena dianggap tidak profesional dan mengetahui kasus yang sebenarnya.
“Ini bisa disalahartikan oleh lembaga internasional maupun masyarakat internasional mengenai seperti apa kondisi di negara kita? Ini menghancurkan citra baik negeri ini,” kata mantan diplomat yang juga wartawan senior Hazairin Pohan dalam pernyataan kepada suaranasional, Jumat (16/6).
Kata Hazairin hancurnya di mata internasional tentang mutu pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat yang mengaku telah bereformasi dijamin telah meninggalkan keburukan di masa lampau akan berani tampil dalam pergaulan bangsa-bangsa secara bermartabat
“Tidakkah insiden “Red Notice” untuk chatting menggambarkan betapa lemahnya warganegara yang seakan-akan tidak boleh berbeda pandangan dan sikap dengan pemegang kuasa?” jelas Hazairin.
Hazairin mengatakan, red notice yang dikembalikan itu membuat Eropa yang liberal dan menjunjung tinggi kehormatan perseorangan tentu tertawa terpingkal-pingkal atau malah ngeri karena mendadak Indonesi menjadi negeri yang sangat otoriter dan konservatif.
“Jangan-jangan Indonesia telah dikuasai rejim fundamentalis dengan nilai konservatisme yang tinggi. Atau, apakah memang Indonesia kembali ke era otoriter? Di mana kini letaknya kewajiban negara untuk perlindungan dan penghargaan terhadap warganegara seperti tertera di dalam UUD 1945?” tanya Hazairin.
Kata Hazairin, pengembalian permintaan “Red Notice” oleh Interpol karena memang Polri kita tidak memahami cara kerja lembaga kepolisian internasional yang tentu sangat ketat dalam pembuatan kriteria tentang tindakan apa yang bisa dikualifikasikan ke dalam kategori kasus-kasus yang ditangani oleh Interpol.
“Apakah Polri tidak faham, bahwa masalah politis sangat sensitif, dan Interpol menjauhi tindakan,” ungkap Hazairin.
Kata Hazairin chatting sesama warganegara tidak termasuk dalam yurisdiksi Interpol. “Masa Polri tidak mengerti hal ini? Ini perilaku menurunkan mutu,” ungkapnya.