Pada Era Jokowi setelah berhasil memenangi pilpres 2014 dan merebut kekuasaan negara dengan mengalahkan Prabowo dengan jargon Revolusi Mental, tiba-tiba muncul pernyataan Presiden yang meminta pemisahan agama dengan politik.
“Pernyataan itu sontak menjadi kontroversi ditengah publik karena membuka memori publik terhadap pemisahan politik dengan agama ala komunis,” kata Pimpinan Komisi Rumah Amanah Rakyat Ferdinand Hutahaean dalam pernyataan kepada suaranasional, Rabu (29/3).
Kata Ferdinand, Pernyataan itu sontak mendapat penolakan dari publik karena dianggab sebagai kebangkitan sekulerisme, dianggab juga berbau komunis.
“Sekulerisme dan komunisme bukanlah sesuatu yang lahir dari perut ibu pertiwi, sehingga pernyataan tersebut dianggab tidak pantas oleh publik diucapkan seorang Presiden,” ungkapnya.
Ferdinand mengatakan, sejarah mencatat, Revolusi Mental adalah sesuatu yang biasa diucapkan era Komunis 1948 dimana Partai Komunis Indonesia sedang tumbuh dengan suburnya.
Adalah DN Aidit seorang tokoh PKI yang menyatakan bahwa Agama adalah candu, maka Revolusi Mental tidak akan pernah berhasil jika rakyat tidak dijauhkan dengan agama.
Kata Ferdinand, jargon Revolusi Mental Jokowi pun menjadi sorotan meski sekarang jargon itu berbeda dengan jargon asalnya setelah Jokowi berhasil merebut kekuasaan.
“Ketika dulu Revolusi Mental diangkat untuk membangkitkan semangat perlawanan, namun setelah berkuasa, Revolusi Mental dijadikan alat menina bobokan rakyat,” papar Ferdinand.
Ferdinand mengatakan, mengganti Agama dengan Revolusi Mental untuk membuat rakyat terlena dan kehilangan semangat perlawanan.
“Revolusi Mental kemudian menjadi candu yang membius rakyat hingga terlena dengan janji-janji yang bersifat ilusi,” jelasnya.