Seorang aktivis Muhammadiyah Mohammad Naufal Donggio menulis catatan tiga profesor yang mengalami kesesatan dalam memahami Islam.
“Ada 3 orang profesor yang ‘terlepas’ dari hidayah Allah karena perbuatan mereka,” kata Naufal dalam artikel berjudul “Ketika Hidayah Allah Pergi dari Sang Profesor”.
Kata Naufal, profesor pertama adalah cendikiawan muslimah yang kehabisan nalar sehat secara aqidah Islamiyah sehingga harus menjadi anggota bahkan sbg ketua pengurus Yayasan Pedepokan Kanjeng Dimas Taat Pribadi.
“Seorang ‘Ketua’ presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sekaligus salah seorang anggota MUI pusat bisa masuk dan terperangkap dalam kegiatan klenik merusak nalar aqidahnya.
Suatu lompatan pemikiran yang sangat radikal bukan dalam mencari jalan yang diridhai Allah tapi lompatan pemikiran yang meceburkan dirinya dalam kesesatan yang nyata.
Kata Naufal, kepintaran dan nilai sekolahan yang cumlaude alias sangat memuaskan tidak menjamin seseorang hamba bisa mempertahankan aqidahnya agar tidak terjerumus dalam jalan kesesatan.
“Apakah perilaku ini datang tiba-tiba dalam dirinya? Jawabnya sudah tentu tidak. Boleh jadi sejak muda pola pikir dia tidak seratus persen sinkron dengan aqidah yang dia yakini. Sehingga bila di hadapkan dengan cobaan dan ujian seperti itu langsung masuk dalam jaringan kesesatan,” ungkap Naufal.
Kata Naufal profesor dua dan tiga yang mengalami kesesatan dalam aqidah adalah cendikiawan muslim dan juga anggota MUI di pusat dan daerah.
“Kedua profesor ini tidak beda jauh dengan peofesor yang pertama hanya beda-beda tipis tapi substansinya yakni masuk jaringan kesesatan,” ungkapnya.
Kata Naufal, kedua profesor yang mengalami kesasatan dalam aqidah ini dalam lingkaran hitam yang haram karena mati-matian membela si kafir penista kitab suci agama Islam Al Quran.
“Berbagai dalih dan ketokohan yang dimilikinya mereka berdua berusaha mempengaruhi khalayak ramai agar mempercayai omongan mereka dan sang penista tidak dihukum karena sudah minta maaf,” jelasnya.
Lanjut Naufal, bahkan dalam membela sang penista Al Quran itu kedua profesor ini tidak malu melakukan kebohongan publik di mana yang satu tidak kenal tapi pernah pernah sekali dua kali bertemu sambil makan bersama.
“Dan profesor yang lain berusaha mencari pembenaran (justifikasi) dengan mengaitkan Surah al-Maidah:51 dengan keberadaan Nabi SAW di kota Makkah selama 13 tahun. Si profesor itu boleh jadi ASBUN tidak baca sejarah bahwa surah al-Maidah turunnya di Madinah dan ini surah yang terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Maidah dikategori dalam kelompok Madaniyah yakni ayat-ayat dan surat yang diturunkan di kota Madinah. Kalau turun di Makkah disebut Makiyyah,” papar Naufal.
Lanjut Naufal, kelakuan kedua profesor itu sungguh membuat umat bingung terutama kalangan awam. Mereka membuat perpecahan dalam tubuh umat dikarenakan otak dan hati mereka tidak sinkron lagi dengan aqidah yang mereka yakini.
“Semakin tua bukan semakin tawadhu dan taat kepada sang Khaliq tapi semakin tua malah mengajak orang lain untuk mati bersama mereka dalam keadaan SUUL KHATIMAH. Ini juga sudah pasti bukan ujuk-ujuk pola pikir mereka seperti ini di kala umur sudah dekat dengan bau tanah,” jelas Naufal.