Reshuffle kabinet jilid 2 ini merupakan pergantian anggota yang tidak sempurna alasannya. Pertama, menteri menteri yang dilengserkan tidak mengetahui nilai rapornya sehingga layak diganti atau di mutasi.
Demikian dikatakan Ketua Asian Institute for Information and Development Studies, Syahganda Nainggolan dalam pernyataan kepada intelijen, Selasa (16/8).
Kata Syanganda, menteri-menteri di bidang ekonomi bahkan telah berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2016. Bahkan, mereka baru bekerja selama kurang dari setahun, sejak reshuffle sebelumnya.
“Pergantian ini tentu menciptakan sakit hati atau kekecewaan. Hal ini berpotensi menjadi kelompok ancaman bagi rezim Jokowi,” ungkapnya.
Kata Syahganda, Kedua, pergantian ini memasukkan kelompok partai yang tidak mendukung Jokowi JK dalam pilpres lalu. Hal ini tentu mengurangi porsi kekuasaan partai pendukung utama. Hal ini berpotensi menggoyang stabilitas rezim Jokowi, karena didorong ketidakpuasan mereka.
“Ketiga, Jokowi memasukkan Sri Mulyani, menteri SBY, sebuah rezim yang dikecam Jokowi dalam tulisannya “Revolusi Mental”, di Kompas, tempo hari, karena alasan beda ideologis. Hal ini berpotensi merusak semua konsep dan implementasi Nawacita dan Trisakti,” ungkap Syahganda.
Syahganda mengatakan, reshuffle yang tidak sempurna ini kelihatannya menimbulkan spekulasi yang dalam di mata publik dan pasar.
“Pertama, terjadi konflik yang dalam dan parah diantara elit elit strategis pendukung kekuasaan Jokowi. Kedua, tidak terjadi prinsip Governance, khususnya, kehati hatian dalam urusan yang sangat vital pada administrasi pemerintahan ini,” jelas Syahganda.
Untuk hal yang pertama, menurut Syahganda Jokowi harus tampil lebih tegas agar mampu mengendalikan keutuhan organisasinya. “Sedangkan yang kedua, Jokowi harus membiasakan pelibatan semua institusi pemerintah terkait, dalam pengambilan keputusan negara,” pungkasnya.