Dalam kenyataannya setelah puluhan tahun kemerdekaan Indonesia itu, kaum bumiputera mayoritas tetap miskin, kumuh dan terexploitasi. Karenanya sangat banyak warga Pribumi Nusantara menjadi sangat terbelakang. Sementara segelintir kalangan minoritas China perantauan menjadi sangat supermakmur.
“Sementara kalangan mencoba menyudutkan seolah situasi itu terjadi karena kaum Bumiputra-nya bodoh, malas, tukang kawin, banyak omong, tidak punya kreatifitas dan lain lain sebagainya,” kata Direktur Eksekutif Institut Soekarno Hatta, Hatta Taliwang kepada suaranasional, Rabu (20/7).
Hatta mengatakan, kelompok pribumi diperhadapkan dengan kelompok China yang katanya memang ulet, rajin, disiplin, hemat, cerdas dll.
“Tuduhan kepada Pribumi itu sangat tidak benar! Bahkan tuduhan itu sesungguhnya diciptakan bersama antara orang China dengan pihak pengambil kebijakan tadi agar Pribumi Nusantara tidak mencemburui kekayaan yang telah dicapai oleh orang China dan kekayaan para pengambil kebijakan yang diperoleh dari pengusaha China yang didasari oleh konspirasi tadi,” ungkap Hatta.
Hatta mengatakan, tanpa mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya tersebut sebenarnya yang paling mendasar yang membuat terjadinya kesenjangan tersebut adalah karena ada faktor kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum Bumiputera dan menguntungkan segelintir kaum minoritas.
“Apa yang oleh Henry Veltemeyer disebut sebagai kebijakan kapitalisme/ neoliberalisme yang menguntungkan para pemodal yang kebetulan keturunan China yang sejak Orde Baru dipraktekkan dan merajalela hingga era Orde Reformasi ini,” ungkapnya.
Kata Hatta, akumulasi kekayaan para konglomerat hitam juga terjadi karena jelang akhir kekuasaan Soeharto terjadi skandal perampokan Bank oleh sekelompok orang China yang dikenal sebagai skandal BLBI.
“Bahkan Robison (1995) menyebut telah terjadi konspirasi antara penguasa Orde Baru dengan Sekelompok China dan Kapitalis dari Barat/Jepang yang sangat merugikan kelompok pengusaha pribumi,” pungkas Hatta.