Melemahnya rupiah bukan karena rencana FED (Bank Sentral Amerika) menaikan suku bunganya tetapi banyak hal yang menyebabkan rupiah akan terus merosot nilainya hingga kisaran Rp 15500 /USD di tahun ini.
“Keputusan Federal Reserve AS pada rapat FOMC 16-17 September 2015 untuk mempertahankan suku bunganya pada level yang sama dengan sebelumnya memang sempat membuat rupiah menguat sedikit tapi kemudian meroket lagi hingga Rp 14597/USD. Dan akan sangat mudah mencapai Rp 15500/USD diakhir tahun,” kata Ketua Umum Federasi Serikat BUMN Bersatu Arief Poyouno dalam pernyataan kepada suaranasional, Sabtu (26/9).
Menurut mantan aktivis PRD ini dalam pengumumannya, otoritas moneter AS itu menegaskan bahwa mereka masih akan memantau inflasi AS dan kondisi ekonomi global lebih lanjut sebelum memutuskan untuk menaikkan suku bunga.
“Segera setelah pengumuman tersebut dirilis, USD anjlok terhadap sejumlah mata uang mayor. Namun demikian, bursa saham dan mata uang tak menunjukkan respon signifikan atas kabar tersebut, termasuk juga rupiah,” ujar Arief.
Arief mengungkapkan setidaknya ada berapa faktor yang menyebabkan rupiah tetap terdepresiasi meski the Fed tidak menaikkan suku bunganya. Pertama, kurangnya kepercayaan publik keuangan international terhadap kepemimpinan nasional, akibat lemahnya pemerintahan Jokowi terhadap para eks donatur dan Tim Sukses Pilpres yang dari kalangan pemain proyek pemerintah dan pengusaha yang bisa hidup hanya karena fasilitas pemerintah.
“Masih ada kemungkinan suku bunga Fed akan dinaikkan dalam tahun ini, yaitu antara bulan Oktober atau Desember,” papar politikus Gerindra ini.
Kata Arief faktor kedua rupiah menurun karena turunya ekpor komoditi unggulan Indonesia ke China akibat belum ada perkembangan positif dari masalah perlambatan ekonomi China. Perkembangan pasar Asia dan negara berkembang saat ini masih kurang kondusif.
“Ketiga, arus penarikan dana asing dari Indonesia dinilai sudah terlalu besar, dan masih terus berlanjut. Menurut laporan Bloomberg, investor asing telah menjual saham Indonesia senilai USD 991 juta dalam kuartal ini saja, nyaris menjadi net outflow terbesar sepanjang sejarah,” jelas Arief.
Kata Arief, faktor keempat, Bank Indonesia tidak memiliki ruang lagi untuk bertindak di tengah dilema perlambatan ekonomi nasional, menurunnya ekspor dan meningkatnya import pangan dan depresiasi rupiah, serta persediaan devisa menipis. Keputusan Bank Indonesia pekan lalu untuk membiarkan suku bunga tetap pada 7.5 persen merupakan salah satu indikasinya.
“Kelima, sebagian besar utang luar negeri sektor publik Indonesia adalah utang jangka panjang. Namun, sekitar 25 persen dari utang luar negeri sektor swasta adalah pinjaman jangka pendek. Di saat yang sama, sejumlah perusahaan di Indonesia akan terancam default jika depresiasi Rupiah berlanjut, akibat eksposur yang tinggi dan tak di-hedging,” jelas Arief.
Ia mengingatkan Indonesia siap-siap terjadi krisis ekonomi yang sangat berat di era Jokowi. Ekonomi Indonesia sudah diruang Unit Gawat Darurat (UGD) mungkin bisa saja berpindah ke ruang ICU handling national economy.
“Masyarakat kelas menengah sudah mulai terkena dampak pelemahan ekonomi dan depresiasi rupiah yaitu ditandai dengan dimulai tutupnya supermarket untuk masyarakat kelas menengah,” ungkap Arief.
Arief mengungkapkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada penutupan 74 gerai supermarket Hero, pengurangan gerai Carefour yang berakibat pada Indeks Produksi Manufacturing Nasional sudah dibawah 50 % akibat makin menurunnya daya beli masyarakat .
“Dari data data di kawasan Industri sudah hampir perusahaan perusahaan melakukan program pengurangan pekerja di sejumlah pabrik dengan cara PHK dan dirumahkan untuk sementara karena turunya produksi,” jelas Arief.
Lanjut Arief, jika tidak ada kebijakan Jokowi yang bisa membuka pasar bagi produk-produk unggulan eksport serta produk manufacturing Indonesia di luar negeri bisa bisa Jokowinomic dari UGD dipindah ke ruang ICU.