Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Salah satu karakter Jokowi yang konsisten adalah ucapannya yang tidak bisa dipegang (julukan Mahasiswa adalah : consistent in inconsistency). Julukan lain dari Mahasiswa BEM terhadap Jokowi adalah : King of lip service (Raja Pembual).
Kemarin di hadapan Anggota DPR/MPR dalam Sidang Tahunan MPR 2023 Jokowi menyatakan bahwa dirinya sebagai seorang Presiden (bukan Pak Lurah) tidak ikut cawe-cawe urusan capres, karena itu adalah hak para Ketum Parpol, sedangkan dirinya bukan Ketum Parpol, bukan Lurah tapi seorang Presiden. Pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan Jokowi sebelumnya, yang menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa dan negara (baca : demi dinasti politik keluarga) maka dia akan cawe-cawe urusan capres.
Bukan itu saja, Jokowi sengaja melibatkan diri dalam meng- endorse capres tertentu dan menjegal capres yang lain.
Memang sebagai seorang Presiden sudah seharusnya netral, tidak ikut cawe-cawe, tidak meng- endorse capres tertentu dan harus legowo mundur jika rakyat sudah tidak percaya lagi atas kepemimpinannya, bukan malah menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
Ini di antara bukti-bukti kalau Jokowi ikut cawe-cawe urusan capres:
Pertama, Meng- endorse Prabowo sebagai capres pilihannya
Semula Jokowi telah meng- endorse Ganjar Pranowo, bahkan sudah menyewa para buzzer rp dan lembaga survey untuk menaikkan elektabilitas Ganjar. Tapi ternyata Ganjar “diambil alih” oleh PDIP, sehingga rencana Jokowi berantakan. Akhirnya dukungan Jokowi beralih kepada Prabowo. Lalu lembaga survey penjilat rezim dialihkan untuk menaikkan elektabilitas Prabowi. Semua lembaga survey mereka hasilnya tidak ada yang bisa dipercaya.
Begitu Jokowi seriusnya Jokowi mendukung Prabowo, sehingga Gibran, Partai-partai koalisi Pemerintah, para relawan, dan partai pendukung Jokowi diarahkan untuk mendukung capres pilihan Jokowi, yaitu Prabowo.
Kedua, Jokowi mengendalikan KPK, KPU, BAWASLU, MK dan DPR/MPR untuk memuluskan ambisinya
MK sudah menjadi alat kekuasaan (Jokowi) dan telah kehilangan kehilangan marwah dan independensi. Demi memuluskan kepentingan Jokowi jabatan Ketua KPK diperpanjang 1 tahun. Demikian juga usia capres/cawapres yang seharusnya 40 tahun, demi seorang Gibran mau diturunkan jadi 35 tahun, tapi langsung diprotes PDIP.
Demi menjegal Anies, Ketua KPK diperintah Jokowi untuk mentersangkakan Anies di gelaran Formula-E.
Demikian juga KPU dan BAWASLU disetir oleh Jokowi.
Jokowi telah membuat Anggota DPR/MPR selama rezim Jokowi cuma jadi penyokong pemuas nafsu Jokowi. Tidak ada sekalipun DPR/MPR mengoreksi kinerja Jokowi, padahal Jokowi telah berkali-kali melanggar konstitusi.
Jadi kalau Jokowi bilang tidak cawe-cawe itu bohong besar.
Ketiga, Demi menekan Nasdem untuk keluar dari koalisi Perubahan, 2 Menteri Nasdem dijadikan tersangka
Dalihnya adalah penegakkan hukum. Dalan kasus korupsi BTS, begitu menyeret nama Dito (Menpora), Hasto, Happy Hapsoro (suami Puan), Kaesang, para Anggota DPR, bahkan menyeret nama Jokowi tiba-tiba kasusnya “dipetieskan”. Jadi skenarionya tersangkanya hanya Menteri Nasdem.
Demikian juga PKS dan Demokrat “dirayu” untuk meninggalkan koalisi perubahan.
Keempat, Penjegalan Anies melalui KPK dan Pembegalan Partai Demokrat oleh Moeldoko
Kedua cara penjegalan Anies ini sangat vulgar, kasar, dan dzalim. Semuanya atas perintah Jokowi.
Mau bilang tidak cawe-cawe ?
Kelima, Dalam setiap statemen para pejabat istana jika menyebut capres hanya disebut Ganjar dan Prabowo, tidak pernah disebut nama Anies
Ini skenario Jokowi dan kekuatan di belakang Jokowi. Sengaja Anies dicoba dihalangi untuk nyapres. Ini bukan lagi sekedar cawe-cawe dan “bajingan tolol”, tapi telah bertindak seperti tuhan yang mencoba menghalangi hak seorang yang merdeka.
Keenam, Menjadikan istana untuk sarana pertemuan para ketum parpol koalisi pendukung capres pilihan Jokowi, karena Surya Paloh tidak diundang
Ini adalah pelanggaran konstitusi dan penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Itu cawe-cawe yang lebih buruk dari sekedar mendukung capres tertentu.
Dalam pernyataannya Jokowi mengakui bahwa selain sebagai pejabat publik dia juga pejabat politik. Kalau sebagai pejabat politik seharusnya tidak menggunakan fasilitas negara (istana) untuk rapat politik.
Ketujuh, Menugaskan Heru Budi (Plt. Gubernur DKI) untuk menghilangkan jejak Anies
Dari awal menjabat Heru Budi sudah mulai menghilangkan jejak Anies. Mulai dari penghilangan Nama Anies di stadion-stadion Ingub, di Tempat-tempat Wisata, pembongkaran trotoar, sistem transportasi, bahkan JIS juga mau dihilangkan rekam jejak Anies. Semua itu atas perintah Jokowi.
Kedelapan, Stadion JIS semula mau direnovasi dengan anggaran sampai 5,5 triliun dengan dalih tidak standar FIFA
Cerita bohong pun dibuat : jalur pintu keluar yang cuma satu, area perparkiran yang tidak layak, jalur masuk bis besar yang kurang tinggi, sampai soal rumput hibrida yang disebut tidak memenuhi standar FIFA. Ternyata semuanya bohong dan FIFA telah menjadikan JIS sebagai stadion utama gelaran Piala Dunia U-17.
Kesembilan, “Memaksa” Prabowo untuk mencawapreskan Gibran
Ditinjau dari segi apa pun Gibran itu tidak layak jadi cawapres. Jangankan cawapres, jadi Walikota saja karena kolusi dan nepotisme, padahal secara kualutas tidak memenuhi syarat. Apalagi jadi cawapres, sangat tidak layak dan tidak memenuhi syarat. Seperti kata dirinya, Gibran itu masih anak ingusan. Tapi Jokowi ngebet dengan cawe-cawe nya ingin memaksakan Gibran jadi cawapres Peabowo.
Kesepuluh, Jokowi intervensi aparat hukum sehingga para koruptor dibiarkan merajalela selama era Jokowi
Selama era Jokowi korupsi sangat ugal-ugalan dan tidak ada penangan serius, jujur, dan adil. Semua penanganan korupsi hanya dagelan dan sandiwara. Termasuk korupsi di lingkar istana dan lingkar kekuasaan.
Nah dari kesepuluh bukti di atas, masih percayakah rakyat atas ucapan Jokowi kalau dia tidak ikut cawe-cawe
Silakan rakyat menilainya sendiri
Bandung, 29 Muharram 1445