Saat ini perlu mengembalikan UUD 45 yang asli dengan cara adendum di tengah berbagai persoalan bangsa termasuk ketatanegaraan.
“Kembali UUD 45 asli dengan catatan adendum di mana masa jabatan presiden dibatasi. UUD 45 tetap lama, amandemen isinya menjadi lampiran,” kata pengamat politik Amir Hamzah kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (15/3/2022).
Perubahan UUD 45 dilakukan secara adendum, yaitu perubahan dengan tetap mempertahankan naskah asli. Adapun pasal-pasal yang diubah hanya menjadi lampiran.
Kata Amir, amandemen UUD 45 mengubah berbagai aturan fundamental negara termasuk soal pemilu.
“Sebaiknya UUD 45 itu diberi adendum dan bukan diamandemen karena kalau diamandemen akan terjadi perubahan-perubahan mendasar seperti adanya pemilihan langsung dan diabaikannya ekonomi kerakyatan menjadi ekonomi kapitalis,” ujarnya.
Amendemen 2002 telah meninggalkan sistem ekonomi Pancasila yang menitikberatkan kepada pemisahan yang jelas antara wilayah koperasi, BUMN dan swasta menjadi sistem ekonomi kapitalistik.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam konstitusi amendemen 2002 yang telah menambah 2 ayat di pasal 33. Akibatnya, membuka peluang kepada swasta nasional maupun asing untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, dengan dalih efisiensi.
Menurut Amir, sekarang ini terjadi penyimpangan dengan adanya amandemen dan reformasi, yaitu diabaikannya demokrasi Pancasila.
Mengembalikan UUD 45 yang asli dengan adendum, kata Amir mengubah struktur ketatanegaraan di mana kedaulatan tertinggi di tangan rakyat melalui MPR. “Konsekuensinya pemilihan presiden melalui MPR,” ungkapnya.
Adanya penyederhanaan partai politik merupakan konsekuensi dari mengembalikan UUD 45 yang asli.