Menunda Pemilu 2024, Yusril: Amandemen UUD 45

DPR harus melakukan amandemen UUD 45 untuk mendapatkan legitimasi penundaan Pemilu 2024.

“Kalau mau menunda pemilu harus ada landasan konstitusionalnya. Cara paling mungkin untuk itu hanya melakukan amandemen UUD 45,” kata pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (5/3/2022).

Tanpa amandemen UUD 45, kata Yusril penundaan pemilu adalah pelanggaran nyata terhadap UUD 45. Risiko pelanggaran terhadap UUD 45 adalah masalah serius.

Presiden pun jika melanggar UUD 45 bisa dimakzulkan oleh MPR. Tentu setelah melalui proses pemakzulan sebagaimana diatur di dalam UUD 45. Sekarang, pihak mana yang mau melakukan amandemen terhadap UUD 45?

“Kita hendaknya tidak bermain-main dengan sesuatu, kalau hal itu kita sadari sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap UUD 45,” paparnya.

Konsekuensi dari penundaan itu, jabatan-jabatan kenegaraan yang harus diisi dengan pemilu juga berakhir. Maka terjadilah kevakuman kekuasaan, karena begitu jabatan berakhir setelah lima tahun, para pejabat tersebut, mulai dari Presiden sampai anggota DPRD telah menjadi mantan pejabat, alias tidak dapat melakukan tindakan jabatan apapun atas nama jabatannya.

“Kalau para mantan pejabat itu memaksa bertindak sebagai seolah-olah pejabat yang sah, maka rakyat berhak untuk membangkang kepada mereka. Jika keadaan seperti itu terjadi, maka akan terjadilah anarki, semua orang merasa dapat berbuat apa saja yang diinginkannya. Negara akan berantakan karenanya. Tertib hukum lenyap samasekali,” paparnya.

Kalau Presiden mengatakan harus taat dan patuh pada konstitusi, maka kita tidak punya pilihan kecuali melaksanakan pemilu sesuai jadwal.

“Pemilu bisa saja diselenggarakan secara lebih sederhana, misalnya menggunakan digital election memanfaatkan teknologi informasi yang ada sekarang. Bisa saja orang nyoblos pileg dan pilpres dengan menggunakan HP. Kampanye sederhana, menghitungnya cepat, kecurangan dapat diminimalkan,” pungkasnya.