by M Rizal Fadillah
Nafsu Gerakan Anti Radikal (GAR) Alumni ITB untuk merusak nama baik Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA nyaris gagal. Alih alih Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memproses laporan GAR ITB, malahan kini GAR yang mengalami gegar sosial, menerima pukulan publik bertubi-tubi.
Ketua KASN Agus Pramusinto menyatakan bahwa KASN tidak berkomentar apa-apa dan menegaskan laporan GAR ITB tidak memiliki bukti atas pelaporannya. Karenanya KASN langsung saja melanjutkan laporan tersebut ke pihak Satgas Penanganan Radikalisme dan Kementrian Agama. Menag Yaqut yang biasa ribut soal radikalisme ternyata menyatakan agar tidak gegabah menilai radikal dalam kasus pelaporan Prof Din Syamsuddin. Hal ini sejalan dengan pandangan PBNU.
Banyak tokoh mengecam GAR ITB dan membela Prof Din Syamsuddin. Mulai Azyumardi Azra, Hidayat Nur Wahid, Marsudi Syuhud hingga Mahfud MD. Publik menilai GAR Alumni ITB sebagai model buzzer penguasa. Keluar dari citra akademisi dan menjadi sebuah kelompok politik kepentingan. Berujung bukan saja mendesak pembubaran tetapi juga langkah penindakan hukum. Perbuatan GAR alumni ITB dapat dikualifikasikan kriminal.
Reaksi sesama alumni ITB muncul juga. Kali ini kelompok organisasi Keluarga Alumni ITB Penegak Pancasila dan Anti Komunis (KAPPAK) membuat pernyataan menohok. Meski mengaku terlambat akan tetapi tajam dalam mengkritisi. KAPPAK mendesak Rektorat dan Senat ITB agar menindak tegas GAR ITB karena ikut campur dalam urusan internal ITB. Demikian juga dengan dosen yang terlibat agar ditertibkan karena dinilai telah merusak kredibilitas ITB.
KAPPAK yang berangkat dari penegakan nilai Pancasila dan Anti Komunis mengingatkan agar seluruh alumni ITB harus menjunjung tinggi kebebasan berfikir, berkarya, dan berkiprah pada platform ilmiah dalam kawalan nilai-nilai Pancasila. Mereka meminta agar Ikatan Alumni (IA ITB) mengambil sikap terhadap kelompok “anti radikal” tersebut. Mungkin KAPPAK melihat ada nilai-nilai “anti Pancasila” dalam gerakan ini.
Reaksi luas atas sikap GAR ITB yang tendensius dan berbau buzzer politik ini menyebabkan banyak pertanyaan atas keberadaan GAR ITB tersebut. Banyak pihak mulai menguliti kelompok ini. Dari aspek SARA konteks etnis dan agama dibongkar, keberadaan “orang pemerintahan” sebagai inisiator dan provokator, hingga privasi sang juru bicara pun mulai diselidiki dan dikomentari. Pencatutan nama pendukung mulai dipersoalkan. Di samping gegar sosial GAR mengalami gegar moral.
Memang pilihan terbaik untuk stabilitas dan kredibilitas ITB sebagai perguruan tinggi perjuangan yang terkenal banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang hebat, adalah segera untuk menindak GAR ITB. Membubarkannya adalah pilihan yang paling sederhana. Kebijakan lebih dari itupun hal yang wajar. GAR telah merusak citra ITB, moral akademis serta menghancurkan nilai dan karakter mulia bangsa.
Ketika bangsa ini mewaspadai ancaman perusakkan nilai-nilai Pancasila dan bahaya komunisme, model gerakan politik GAR ITB seperti ini harus dengan cepat diantisipasi dan dieliminasi. Sikap berlambat-lambat dapat menimbulkan bencana.
GAR ITB telah gagal melakukan kudeta moral dan intelektual.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 Februari 202