Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, menyayangkan munculnya anggapan keliru oleh orang yang mengaku pengamat politik atas gugatan uji materi yang diajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Presidential Threshold 20 persen.
Menurut Lieus, anggapan keliru itu bisa jadi timbul karena yang bersangkutan tidak memahami substansi masalah, atau bisa jadi karena dia tak mau membaca sejarah. “Orang-orang seperti itu biasanya merasa pintar sendiri, tapi malah kebelinger,” katanya.
Ditambahkan Lieus, persoalan Presidential Threshold 20 persen bukan hal yang baru saja muncul jelang Pemilu 2024.
“Sudah sejak awal pembahasannya di DPR pun sudah muncul kontroversi. Itu dibuktikan dengan walk outnya empat partai, yakni Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN dari ruang sidang paripurna DPR pada 21 Juli 2017,” kata Lieus.
Bahkan, tambah Lieus, kala itu sidang paripurna hanya dipimpin oleh Ketua DPR Setya Novanto yang didampingi Wakilnya, Fahri Hamzah. “Tiga wakil ketua DPR lainnya, Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN) melakukan aksi walk out bersama seluruh rekan satu fraksi mereka,” tutur Lieus.
Seperti diketahui, waktu itu Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) memang melakukan aksi walk out karena tidak ingin mengikuti voting terhadap opsi paket lima isu krusial RUU Pemilu. Mereka ingin ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 0 persen alias dihapuskan dalam RUU Pemilu.
Bahkan, tambah Lieus, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sendiri menyebut presidential threshold 20% merupakan lelucon politik yang menipu rakyat.
“Prabowo beralasan, mereka walk out karena tidak mau ikut bertanggungjawab dalam pengesahan RUU Pemilu itu. Prabowo menyebut pihaknya tidak mau ikut sesuatu yang melawan akal sehat dan logika. Seperti katanya, dia tidak mau ditertawakan oleh sejarah,” kata Lieus.
Jadi, tambah Lieus, penolakan atas Presidential Threshold 30 persen itu sudah muncul sejak sebelum UU No. 7 Tahun 2017 itu sendiri disahkan. “Jadi ini bukan barang baru. Sayangnya selama bertahun-tahun kita terlalu mabuk oleh ephoria kemenangan untuk dukung mendukung Capres yang diusung Parpol sehingga mengabaikan persoalan krusial yang menjadi hak konstitusional rakyat ini,” katanya.
Menurut Lieus lagi, selama beberapa tahun ini kita sudah menyaksikan bagaimana oligarki Parpol telah menutup bahkan membunuh peluang putra-putri terbaik bangsa untuk jadi pemimpin melalui ketentuan Presidential Threshold 20 persen tersebut. “Padahal ketentuan itu sangat mencederai hak konstitusional rakyat karena rakyat dipaksa menyetujui calon presiden yang diajukan parpol sekalipun mereka tak suka,” jelas Lieus.
Lebih lanjut Lieus mengingatkan para pengurus partai-partai politik bahwa demokrasi sangat membutuhkan azas keadilan dan tidak memaksakan kehendak dengan segala cara. “Bahwa rakyat juga punya hak dan aspirasinya sendiri soal siapa yang akan menjadi presidennya. Jangan hak dan aspirasi itu dibungkam oleh peraturan perundang-undangan yang tak logis,” katanya.
Terkait adanya petinggi Partai Gerindra yang belakangan menyatakan Presidential Threshold 20 persen, Lieus mengatakan bahwa sikap itu sangat bertentangan dengan apa yang pernah dinyatakan pak Prabowo.
“Pak Prabowo pernah mengatakan Gerindra menolak Presidential Threshold 20 persen itu. Pernyataan itu sampai sekarang belum dicabut. Jadi petinggi Gerindra hendaknya jangan plin plan soal ini,” tegas Lieus. (*)