Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik dan sosial
Jumat terakhir 2025 datang seperti jeda panjang sebelum kalender dibalik. Ia bukan hanya tanggal di ujung tahun, tetapi ruang hening untuk menatap kembali jejak negeri yang kita tempuh bersama. Muhasabah nasional menjadi penting—bukan sekadar tradisi, tapi disiplin untuk melihat apa yang telah berhasil, apa yang masih timpang, dan apa yang harus diperbaiki.
Tahun ini menyuguhkan rentetan peristiwa: politik yang berliku, ekonomi yang limbung dan bangkit perlahan, bencana yang mengguncang empati bangsa, hingga geliat masyarakat sipil yang kian vokal menuntut keadilan. Semua layak dicatat sebagai lembaran evaluasi, agar bangsa tidak sekadar mengenang, melainkan belajar dengan kepala dingin dan hati yang bersih.
Dalam sektor politik, 2025 memperlihatkan wajah demokrasi yang penuh dinamika. Persaingan antar elite memanas, isu revisi regulasi memecah ruang publik, sementara suara masyarakat akar rumput semakin berani menuntut transparansi. Media sosial menjadi gelanggang perdebatan yang kadang berlebihan namun juga melahirkan kesadaran baru tentang pentingnya partisipasi publik.
Sementara itu, kepercayaan terhadap lembaga publik naik turun mengikuti arah angin kebijakan. Pertanyaan muhasabahnya sederhana namun mendasar: demokrasi ini sedang menguat atau justru didera retak halus yang tak kasat mata? Evaluasi diperlukan berbasis data, bukan hanya persepsi: indeks korupsi, efektivitas anggaran, tingkat partisipasi warga dalam legislasi. Demokrasi sehat menuntut tata kelola yang akuntabel dan pemimpin yang tahan kritik.
Ekonomi nasional menjalani fase pemulihan bertahap. Harga pangan yang tak stabil mengguncang dapur rakyat kecil, sementara sektor digital serta energi hijau menunjukkan geliat progresif. Pertumbuhan PDB yang positif memang layak disyukuri, namun muhasabah mengingatkan agar kita tak terjebak pada angka statistik.
Pertanyaan penting kembali harus diangkat: siapa yang benar-benar menikmati pertumbuhan? Apakah UMKM mendapat akses modal mudah? Apakah peluang industri teknologi tersebar merata hingga luar Jawa? Ketimpangan masih terasa, tetapi peluang juga terbuka lebar jika kebijakan berpihak pada produktivitas nasional, inovasi, serta pembangunan yang merata.
Lingkungan memberikan alarm keras melalui banjir, kekeringan, kabut asap, dan berbagai bencana hidrometeorologis. Krisis iklim tak lagi wacana akademik, melainkan kenyataan yang mengetuk pintu rumah warga. Kerusakan hutan, tambang ilegal, dan tata ruang yang semrawut menambah daftar pekerjaan rumah.
Evaluasi berbasis ilmiah mutlak diperlukan—mulai dari rehabilitasi hutan, pengendalian izin industri ekstraksi, hingga penataan kota tahan bencana. Pada saat yang sama, di berbagai wilayah muncul komunitas lingkungan, gerakan penanaman pohon, hingga riset kampus tentang energi terbarukan yang menawarkan harapan baru.
Bidang pendidikan dan sosial menjadi cermin lain yang layak direnungi. Akses pendidikan meningkat, tetapi kualitas belum merata. Di sisi kesehatan, beberapa daerah menghadapi kembali munculnya penyakit menular, sementara isu gizi buruk masih menghantui. Meski begitu, solidaritas masyarakat justru tumbuh: relawan kemanusiaan hadir di lokasi bencana, komunitas literasi menyebar hingga kampung-kampung, dan budaya filantropi bergerak tanpa menunggu perintah. Evaluasi diperlukan pada efektivitas kebijakan publik, peningkatan kualitas guru, penguatan layanan kesehatan primer, serta integrasi teknologi yang mendukung pembelajaran merata.
Sementara itu, ranah hukum dan media menjadi dua medan penting dalam muhasabah nasional. Kasus-kasus besar yang mendapat sorotan publik mengungkap bahwa reformasi hukum masih panjang. Transparansi peradilan, revisi undang-undang yang lebih adil, penegakan hukum tanpa pandang bulu—semua masuk daftar perbaikan.
Di dunia digital, arus informasi bergerak cepat, kadang terlalu cepat hingga verifikasi tertinggal. Hoaks mudah menyulut emosi, namun di saat bersamaan lahir pula konten edukatif dan media alternatif yang memperkaya demokrasi. Literasi digital menjadi kunci agar publik tidak mudah terombang-ambing dalam kabar simpang siur.
Pada sisi lain, generasi muda menjadi cahaya yang membuat tahun ini tidak gelap. Mereka menjelma inovator, peneliti, perintis usaha kreatif yang menolak tunduk pada keadaan. Namun tantangan mental health menggema sebagai sinyal agar negara, sekolah, keluarga, dan komunitas menyediakan ruang aman untuk tumbuh. Dukungan psikososial bukan lagi pelengkap, tetapi kebutuhan dasar bagi bangsa yang ingin maju tanpa meninggalkan warganya dalam kesepian.
Jumat terakhir ini menjadi ruang hening yang menyatukan syukur dan introspeksi. Kita patut bangga pada pencapaian pembangunan, pemulihan ekonomi, dan ketangguhan sosial.
Namun kita juga wajib jujur pada kekurangan: ketimpangan yang masih lebar, kerusakan lingkungan yang mengancam, kualitas demokrasi yang membutuhkan mata waspada. Muhasabah bukan untuk menyalahkan, melainkan menata langkah baru agar tahun depan lebih tertib dan visioner.
Perubahan besar sering bermula dari hal sederhana—dari warga yang menolak suap kecil, dari pejabat yang memilih transparan meski tak dilihat kamera, dari anak muda yang lebih memilih membaca buku daripada tenggelam dalam perdebatan sia-sia. Serpihan kebaikan kecil ini, bila dijahit bersama, dapat menjadi kekuatan besar bangsa.
Lembaran 2025 segera tertutup. Kita memasuki tahun baru dengan bekal kesadaran: bahwa perjalanan bangsa adalah tanggung jawab bersama, bahwa evaluasi harus melahirkan keputusan konkret, bahwa harapan tak boleh padam meski badai datang berganti.
Semoga muhasabah nasional di Jumat terakhir ini tidak berhenti sebagai refleksi di atas kertas, tetapi tumbuh menjadi tindakan nyata di ladang kehidupan. Negara hadir dengan kebijakan, masyarakat hadir dengan kesadaran, pemuda hadir dengan kreativitas—dan Indonesia melangkah lebih matang, lebih berkeadilan, lebih manusiawi.





