Aksi penggalangan dana Rp 75,85 miliar dalam waktu satu jam yang dipimpin langsung Menteri Pertanian Amran Sulaiman melalui rekening “Kementan Peduli” memicu sorotan publik. Meski banyak apresiasi muncul karena upaya cepat membantu korban bencana, kritik tajam terkait dasar hukum, transparansi, dan akuntabilitas mulai bermunculan.
Pasalnya, kegiatan penghimpunan donasi publik umumnya dilakukan oleh lembaga sosial, yayasan kemanusiaan, organisasi keagamaan, atau skema resmi pemerintah yang telah diatur khusus. Penggalangan dana oleh sebuah kementerian sebagai institusi eksekutif negara dinilai tidak lazim dan berpotensi melanggar regulasi.
Politisi muda Partai Golkar, Achmad Annama, termasuk yang memberikan tanggapan kritis. Menurutnya, persoalan utama bukan pada niat membantu korban bencana, tetapi pada absennya mekanisme hukum yang harus mengikat setiap bentuk penghimpunan dana masyarakat oleh institusi negara.
“Sejak kapan kementerian diberi kewenangan menggalang dana publik? Aturannya jelas, yang boleh menghimpun donasi adalah lembaga berbadan hukum yang mengantongi izin PUB. Kementerian bukan salah satunya,” tegas Ketua DPP KNPI tersebut.
Annama merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) serta Permensos 8/2021 yang secara rinci mengatur tata cara penggalangan dana, mulai dari izin, pelaporan, audit, hingga penggunaan rekening lembaga kemanusiaan independen.
Hingga kini, kata Annama, tidak ada informasi bahwa Kementerian Pertanian mengantongi izin PUB maupun memanfaatkan skema resmi pemerintah seperti Pooling Fund Bencana yang berada di bawah BNPB.
“Kalau kegiatan sebesar itu dilakukan tanpa izin, ini bukan sekadar kekhilafan teknis. Ini indikasi penyelenggaraan negara berjalan di luar aturan yang dibuat oleh negara itu sendiri,” ujarnya.
Kritik publik juga menguat karena hingga sekarang tidak ada publikasi resmi mengenai daftar donatur, besaran kontribusi, maupun pihak yang terlibat. Rekening “Kementan Peduli” yang menampung dana pun berada di bawah struktur kementerian, bukan lembaga sosial independen yang dapat diaudit secara berkala.
“Ketika donasi publik dikumpulkan lewat rekening kementerian dan tanpa publikasi rinci donatur, kita kehilangan mekanisme verifikasi. Publik tak bisa pastikan apakah dana itu bebas kepentingan tertentu. Transparansi dalam penggalangan dana publik bukan aksesori, itu kewajiban hukum dan etika,” jelasnya.
Menurut Annama, kondisi tersebut membuka ruang spekulasi dan potensi konflik kepentingan karena tidak ada data yang memungkinkan publik menilai proses penghimpunan dana. Padahal, kegiatan sebesar itu seharusnya dilengkapi standar audit, mekanisme pengawasan, dan keterbukaan yang ketat.
Di akhir pernyataannya, Annama mengingatkan bahwa persoalan ini bukan lagi soal moralitas, melainkan tata kelola pemerintahan.
“Ketika batas antara kekuasaan dan uang mulai kabur, negara sedang membuka pintu bagi masalah yang jauh lebih besar daripada bencana banjir yang sedang ditangani,” tegas Ketua Depinas SOKSI itu.
Meski menegaskan bahwa membantu korban merupakan tindakan mulia, Annama menilai tata cara penghimpunan dan pengelolaan dana publik tidak boleh dilakukan di luar ketentuan hukum. Jika praktik serupa dibiarkan, ia khawatir akan menciptakan kekacauan fungsi pemerintahan.
“Jika pejabat publik bisa menggalang puluhan miliar tanpa izin PUB, tanpa audit independen, tanpa transparansi, maka kita sedang menciptakan preseden yang berbahaya bagi demokrasi dan pemerintahan,” pungkasnya.





