Sebuah lembaga yang dibangun di atas disiplin dan pengawasan ketat—Penjara, baik Rutan maupun Lapas—didirikan dengan satu tujuan besar: membatasi ruang gerak manusia dan mengontrol sepenuhnya aktivitas di dalamnya. Namun, di balik tembok tinggi dan gerbang baja, ada sebuah mekanisme sosial yang jauh lebih mengikat daripada aturan tertulis: The Fear of the Consequences.
Ini adalah ketakutan yang lahir bukan dari ancaman kekerasan, melainkan dari kesadaran bahwa para petugas memegang kekuasaan absolut atas kenyamanan atau penderitaan warga binaan. Mereka adalah gerbang, pengatur napas, sekaligus hakim informal yang menentukan baik buruknya hari seseorang di balik jeruji. Tahanan tunduk bukan karena hormat—melainkan karena ngeri pada konsekuensi, sekecil apa pun.
Tetapi teori ketakutan itu runtuh di hadapan satu kenyataan pahit: peredaran narkoba di penjara terus hidup, bahkan berkembang.
Kasus terbaru penangkapan Ammar Zoni di Rutan Salemba—untuk ketiga kalinya—membawa kembali pertanyaan lama yang tak pernah tuntas: bagaimana mungkin narkoba bisa masuk ke salah satu fasilitas pemasyarakatan dengan pengawasan terketat di Indonesia?
Narkoba Masuk Penjara? Mustahil Tanpa Peran Petugas
Logika dasar sistem keamanan pemasyarakatan seharusnya menghasilkan satu kesimpulan yang jelas:
-Tidak ada narkoba yang bisa masuk penjara tanpa keterlibatan petugas.
-Di setiap Rutan dan Lapas, termasuk Salemba, terdapat sistem berlapis:
-Pemeriksaan gerbang
-Petugas jaga di setiap pintu
-Mesin scanning
-Pengawasan CCTV
“Bahkan petugas pun kalau masuk harus di-scanning… Kecuali kalau mereka keluar.”
Bahkan kasus penyelundupan sabu dalam mushaf Al-Qur’an bisa langsung terdeteksi mesin pemindai. Jika kitab suci pun tak lolos, hampir mustahil pembesuk membawa sabu, ganja, atau tembakau sintetis tanpa ketahuan.
Maka satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah:
-Barang itu masuk dengan restu—atau melalui tangan—oknum berseragam sendiri.
-Mekanisme “Mati Lampu”: Celah yang Sengaja Dibuat?
Informasi dari seorang mantan warga binaan, Pak De Joko, membuka tabir gelap tentang jalur masuk barang haram ke dalam Salemba.
Kata dia:
“Tidak mungkin Ammar Zoni atau siapa pun dari luar bisa masukin barang itu. Satu-satunya cara: lewat mati lampu.”
Mengapa harus mati lampu?
Menghindari Rekaman CCTV
Gelap total berarti tak ada bukti visual.
Keluar-masuk Petugas Lebih Bebas
Saat mati lampu, hanya petugas berseragam—yang saling mengenal—yang bisa keluar masuk tanpa dicurigai.
“Kalau bukan petugas, mana bisa masuk? Apalagi dalam keadaan mati lampu…”
Drone? Mustahil. Pembesuk? Mustahil. Warga binaan? Mustahil.
Hanya orang berseragam yang bisa.
Dalam dunia penjara, istilah “Apotik” bukan merujuk pada tempat obat legal, tetapi titik pusat peredaran narkoba. Salah satunya yang disebut paling “mapan” adalah Apotik Blok T.
Apotik melibatkan:
-Petugas sebagai pemilik jaringan
-Kurir warga binaan sebagai pengantar
-Bankers sebagai tempat transaksi uang
-Petugas khusus yang menjaga jalur aman
Minimal omzet apotik paling kecil saja mencapai Rp 50 juta per hari.
Apotik besar? Jumlahnya bisa berlipat.
Ammar Zoni, menurut Pak De Joko, bukan pemain, bukan pengedar, bukan apotik.
“Segoblok-gobloknya Ammar, dia tahu dia pasti diincar. Kalau dia buka Apotik, dia habis diperas petugas.”
Karena statusnya sebagai publik figur yang dianggap “punya uang”, Ammar menjadi sasaran empuk.
Informasi dari dalam menyebut adanya cepu—informan internal—yang melaporkan kebiasaan Ammar menggunakan narkoba. Laporan diteruskan ke petugas register, lalu ke petugas keamanan.
Ada dua kemungkinan:
1. Ammar sekadar pemakai, tapi digunakan sebagai umpan
Untuk menangkap “pelaku kecil” demi menutupi jaringan besar.
2. Ammar dijebak
Karena ia mengetahui atau berpotensi mengetahui:
-jalur masuk narkoba
-siapa petugas yang bermain
-bagaimana uang diputar
“Ammar ini berbahaya bukan karena dia pakai lagi. Tapi karena dia bisa buka benang merah jaringan berseragam itu.”
Karena itu ia harus “diamkan”—baik dengan isolasi, ancaman, atau kriminalisasi ulang.
Kesimpulan: Narkoba Penjara Bukan Masalah Tahanan, tapi Masalah Petugas
Dari kesaksian internal dan logika sistem keamanan, simpulannya mengerikan:
-Narkoba tidak mungkin masuk tanpa peran oknum petugas.
-Ada sindikasi kuat yang menguasai alur masuk barang haram.
-Warga binaan hanya pion, apotik hanya kaki tangan.
-Jaringan ini menghasilkan keuntungan besar yang terus hidup.
-Jika Ammar Zoni dijebak, maka ia adalah korban dari sindikasi itu dan menjadi ancaman bagi mereka.
Melihat posisinya yang rentan, sekaligus berpotensi menjadi saksi kunci sindikasi narkoba penjara, Ammar Zoni dan rekan-rekannya harus ditempatkan di bawah perlindungan LPSK.
Alasannya:
-Ia berpotensi mengetahui fakta sensitif.
-Ia rentan mendapat tekanan dan ancaman.
-Ia dapat menjadi pintu masuk terbongkarnya jaringan besar.
Penempatan di LPSK bukan untuk membebaskan Ammar dari hukuman pemakai, tetapi untuk melindungi keselamatannya dan membuka jalur reformasi pemasyarakatan yang selama ini dipenuhi permainan busuk oknum berseragam.
Bersambung ke bagian 4





