Bencana banjir hebat yang melanda Tapanuli, Sumatera Utara, kembali membuka luka lama mengenai kerusakan ekosistem Batang Toru—salah satu kawasan hutan paling kritis di Indonesia yang menjadi habitat terakhir Orangutan Tapanuli. Di tengah gambar-gambar dramatis yang memenuhi linimasa, komentar wartawan senior Agustinus Edy Kristianto (AEK) memicu diskusi baru: siapa sebenarnya para pemegang kebijakan yang ikut menyumbang kerusakan ekologis tersebut?
AEK menulis tegas: masyarakat harus tahu. Di balik foto seorang pejabat tinggi pemerintah yang menggotong sekarung bantuan untuk korban banjir, ada rekam jejak kebijakan yang berbanding terbalik.
Pejabat itu adalah Zulkifli Hasan, kini Menteri Koordinator Pangan, tetapi sebelumnya menjabat sebagai Menteri Kehutanan (2009–2014). Menurut data Greenomics Indonesia, Zulkifli Hasan menjadi “juara” dalam melepas kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan—mayoritas sawit.
Total luas hutan yang dilepas pada masa kepemimpinannya mencapai 1,64 juta hektare. Angka yang, bagi banyak pemerhati lingkungan, adalah salah satu penyebab kerentanan ekologis di berbagai daerah, termasuk pulau Sumatera.
“Saya tidak melampirkan foto itu karena satu hal: muak,” tulis AEK, Senin (8/12/2025).
Berdasarkan data BNPB, Sumatera Utara menjadi provinsi paling parah terdampak banjir tahun ini. Sejumlah video amatir yang beredar menunjukkan derasnya arus sungai disertai potongan-potongan kayu besar. Aktivis lingkungan menduga potongan kayu ini berasal dari hulu Sungai Batang Toru, tepatnya dari kawasan Harangan Tapanuli—bagian inti dari lanskap Batang Toru.
Ekosistem Batang Toru saat ini tidak hanya menjadi habitat paling penting bagi Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar paling langka di dunia, tetapi juga merupakan penyangga hidrologis utama di Tapanuli.
Kerusakan di kawasan ini berdampak langsung pada daya dukung sungai, debit air, potensi erosi, dan risiko banjir bandang.
Satya Bumi—sebuah lembaga pemantau lingkungan—menyebut Batang Toru kini dikepung proyek-proyek besar yang memiliki potensi dampak langsung maupun tidak langsung terhadap bentang alam.
Mereka memetakan sedikitnya tujuh pemain besar yang berada di sekitar atau tumpang tindih dengan kawasan ekosistem penting ini:
-Tambang emas PT Agincourt Resources (Martabe)
-PLTA Batang Toru
-PLTMH Pahae Julu
-Operasi geotermal PT SOL
-PT Toba Pulp Lestari
-Perkebunan sawit PT Sago Nauli
-Perkebunan PTPN III Batang Toru
Di antara seluruh korporasi tersebut, PT Agincourt Resources menjadi sorotan utama dalam laporan terbaru Satya Bumi.
130 Ribu Hektare Konsesi, 40 Ribu Hektare Tumpang Tindih Ekosistem Batang Toru
Menurut laporan Satya Bumi:
-Total luas konsesi PT Agincourt Resources: 130.252 hektare
-Tumpang tindih dengan ekosistem Batang Toru: 40.890,60 hektare
-Tumpang tindih dengan hutan lindung: 30.630 hektare (meliputi wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan)
Lebih jauh, hingga Oktober 2025, perusahaan disebut telah membuka 603,21 hektare, sebagian besar merupakan hutan primer. Mereka juga berencana menambah pembukaan sekitar 195 hektare untuk pembangunan tailing management facility (TMF) di hulu DAS Nabirong.
Pakar lingkungan memperingatkan bahwa pembangunan fasilitas tailing di kawasan hulu berpotensi mengancam kualitas air hingga ke hilir DAS Batang Toru, terutama jika terjadi kebocoran atau longsor.
Ekosistem Batang Toru, layaknya busur raksasa yang menahan curah hujan ekstrem di Sumatera Utara, memiliki fungsi ekologis sangat vital. Ketika tutupan hutan berkurang, kemampuan tanah menahan air melemah. Air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah berubah menjadi limpasan permukaan. Inilah yang memicu:
-kenaikan debit sungai secara tiba-tiba,
-pergerakan material kayu dan lumpur,
-serta banjir bandang yang merusak permukiman.
Banjir di Tapanuli, menurut Satya Bumi, harus dilihat bukan hanya sebagai bencana alam, melainkan sebagai akumulasi dari deforestasi, proyek ekstraktif, dan lemahnya tata kelola lingkungan.
AEK menyebut ia telah mengantongi peta ekspansi perusahaan dan lokasi desa terdampak. Meski tidak ditampilkan dalam status publiknya, peta tersebut menjadi bukti penting untuk memahami skala risiko yang dihadapi warga.
Sejumlah desa yang berada di bantaran Sungai Batang Toru dan Nabirong kini menjadi zona merah bencana. Warga kerap mengeluh bahwa kondisi sungai berubah drastis dalam beberapa tahun terakhir—air lebih keruh, arus makin liar, dan debit sering meluap meski hujan tidak terlalu deras.
Pernyataan AEK mengandung pesan kuat: bencana ekologis adalah akumulasi dari keputusan politik masa lalu.
Kebijakan pelepasan kawasan hutan, pembukaan tambang, pembangunan PLTA, hingga ekspansi perkebunan sawit adalah bagian dari persoalan struktural yang selama ini tidak ditangani secara memadai.
Kini, warga Tapanuli membayar harganya.
“Semoga mencerahkan kita semua,” tulis AEK. “Salam duka untuk para korban.”





