Belakangan ini publik dikejutkan oleh kabar dari Lapas Enemawira, Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Seorang Kepala Lapas diduga memaksa tahanan muslim memakan daging anjing. Kejadian tersebut bukan hanya menggambarkan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga menguatkan kesan bahwa kekuasaan seorang kepala lapas bersifat absolut—bahkan sipir biasa atau staf keamanan pun dapat berlaku seolah tanpa batas.
Bagi para tahanan, situasi psikologis yang tercipta adalah rasa “tertawan”. Mereka tunduk, patuh, dan sering kali hidup dalam ketakutan. “Penjara adalah sebuah rezim kekuasaan yang bukan hanya otoriter, tetapi absolut. Secara sadar kita dipaksa tunduk,” tutur Pak De Joko, mantan warga binaan.
Menurut Pak De Joko, kasus di Lapas Enemawira mengonfirmasi banyak hal yang dialami para tahanan di berbagai lapas di Indonesia. Salah satunya adalah dugaan praktik pemalakan dan pemerasan terhadap tahanan yang hendak mengurus pembebasan bersyarat (PB), cuti bersyarat (CB), atau asimilasi.
Pada Mei 2023, SuaraNasional.com membongkar dugaan pungutan liar terhadap tahanan di Rutan Salemba yang ingin mengurus PB dan CB. Besarannya bervariasi, mulai dari Rp10 juta hingga Rp50 juta, tergantung “tarif” yang diberlakukan oknum petugas.
Sejak berita itu mencuat, para tahanan yang diduga sebagai informan diperiksa petugas. “Uniknya, saya tidak dicurigai sama sekali,” kata Pak De Joko. Padahal ia satu blok dengan beberapa orang yang menjadi sumber informasi dalam laporan tersebut.
Yang lebih unik lagi, setiap tahanan yang akhirnya mendapatkan PB, CB, atau asimilasi diminta membuat pernyataan video bahwa prosesnya gratis dan tidak ada uang yang diminta petugas. “Intinya, kita disuruh bersaksi bahwa petugas itu bersih. Hehehe,” ujar Pak De Joko.
Jika pungutan itu dianggap sebagai “bisnis”, jumlahnya luar biasa. Di Rutan Salemba saja ada sekitar 4.000 tahanan. Jika separuhnya mengurus PB atau CB dan dimintai uang, nilai pemerasan itu bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
Tidak heran, menurut Pak De Joko, beberapa pejabat di bidang registrasi hidup mewah. “Pantas saja mereka bisa punya mobil mewah atau rumah bagus, padahal masa kerja mereka baru di bawah 10 tahun,” ujarnya.
Salah satu pejabat yang disebut Pak De Joko adalah AP, Kasie Registrasi Rutan Salemba saat itu. AP sempat menjadi sorotan publik setelah kasus penganiayaan yang melibatkan mantan istrinya.
Menurut Pak De Joko, AP dikenal agresif dalam mencari “klien”—istilah untuk tahanan yang membayar agar bisa lebih cepat bebas. Tidak semua tahanan menggunakan “layanan” ini; mereka yang menjalani hukuman singkat biasanya memilih bebas murni.
Pak De Joko mengaku termasuk salah satu klien tersebut. Ia ditawari menggunakan “jalur AP” setelah layanan resmi yang semestinya terbuka justru tidak berjalan dengan alasan sepele: “kehabisan tinta printer”.
Karena terdesak ingin bebas sebelum Hari Raya Idul Fitri, ia berutang ke banyak kerabat demi memenuhi permintaan uang AP. Namun janji itu meleset. Pada hari raya, AP menolak bertemu dan bahkan sudah pulang untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarganya.
Padahal uang dari keluarga Pak De Joko sudah terlebih dahulu dipaksa untuk segera ditransfer melalui rekening “banker” dalam rutan, dan diambil oleh seorang tahanan pendamping bernama DDN. “Ini bukan gratifikasi. Ini pemerasan terselubung,” tegasnya.
Isu lain yang mengemuka adalah kaburnya tujuh tahanan narkoba dari Rutan Salemba melalui gorong-gorong. Pak De Joko menanggapinya dengan gelak tawa.
“Naif sekali kalau percaya. Tidak ada yang bisa keluar masuk tanpa sepengetahuan petugas. Titik,” katanya.
Menurutnya, pintu keluar hanya satu, dan setiap titik penjagaan sangat ketat. Gorong-gorong yang disebut sebagai jalur kabur terletak kurang dari 30 meter dari pos petugas yang selalu ada penjaganya.
“Yang paling masuk akal cuma satu: lewat pintu depan. Soal ada keterlibatan orang dalam? Silakan simpulkan sendiri,” ujar Pak De Joko.
Masalah berikutnya adalah bagaimana narkoba bisa masuk ke dalam penjara. Pak De Joko menyebut ada sebuah “pameo” di kalangan tahanan: setiap kali mati lampu, ada barang yang masuk.
Menurut kesaksiannya, mati lampu biasanya mencakup seluruh area penting, termasuk gerbang. Ruangan gelap, CCTV lumpuh, dan para tahanan kepanasan sehingga tidak memperhatikan lingkungan. Situasi ini dianggap sebagai momen yang “terukur” untuk memasukkan barang terlarang.
“Lewat mekanisme lain? Nol besar. Lewat drone? Sangat muskil,” katanya.
Kasus lain yang pernah terjadi, misalnya di Lapas Madiun, ketika narkoba diselundupkan melalui Al-Qur’an, menunjukkan bahwa rutan kelas II saja memiliki pemindai dan perangkat keamanan yang memadai. Artinya, penyelundupan yang lolos biasanya melibatkan kelengahan—atau pembiaran—dari pihak dalam.
Kisah Pak De Joko menggambarkan betapa kompleksnya persoalan di balik tembok lapas: penyalahgunaan kekuasaan, pemerasan, manipulasi administrasi, hingga dugaan keterlibatan petugas dalam kaburnya tahanan atau masuknya narkoba.
Reformasi sistem lapas menjadi urgensi nasional—bukan hanya demi keadilan bagi para tahanan, tetapi juga demi martabat negara yang seharusnya menjamin penegakan hukum secara benar, bersih, dan manusiawi.





