Polemik ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memanas setelah Politikus PDIP, Beathor Suryadi, mengeluarkan pernyataan keras yang menuding Jokowi sebagai “pembohong yang sengaja membodohi dan mengadu domba rakyat” terkait dugaan penggunaan ijazah bodong.
Kontroversi itu mencuat kembali usai sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) mengenai permohonan publik untuk membuka keaslian dokumen pendidikan Jokowi. Publik berharap sidang di KIP mampu menjawab keraguan yang telah bertahun-tahun menghantui ruang politik nasional. Namun, seperti episode-episode sebelumnya, dokumen yang diharapkan muncul justru tak kunjung diperlihatkan.
Dalam keterangan tertulisnya, Beathor menegaskan bahwa ketidakmunculan ijazah merupakan bukti bahwa ada persoalan serius.
“Dari sidang di KIP itu, sederhana saja logikanya. Kalau ijazah itu memang ada dan asli, orang akan dengan bangga menunjukkan ijazah itu. Naah… karena ijazah itu bermasalah atau palsu, tentu repotlah untuk ditunjukkan,” kata Beathor kepada wartawan, Selasa (25/11/2025).
Ia menilai Jokowi, justru memperumit situasi dengan memberikan jawaban yang tidak konsisten selama bertahun-tahun terkait riwayat pendidikannya. Hal itu, menurut Beathor, telah melahirkan dua masalah besar: ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan polarisasi berkepanjangan di masyarakat.
“Jokowi sengaja membiarkan rakyat terbelah, mengadu domba, sementara dokumen yang seharusnya menjadi bukti paling sederhana justru tidak pernah ditunjukkan. Ini bukan sekadar administrasi, ini soal kejujuran pemimpin,” tegasnya.
Sidang di KIP sebenarnya menjadi salah satu momentum terpenting untuk menjawab polemik ijazah Jokowi yang tak kunjung selesai. Publik menduga, jika benar dokumen itu autentik, maka UGM maupun pihak sekolah akan dengan mudah menghadirkannya.
Namun, hingga sidang berjalan, dokumen fisik ijazah tetap tidak ditampilkan. Yang muncul justru penjelasan-penjelasan normatif yang dianggap tidak memadai oleh banyak pihak. Di tengah kegamangan itu, suara-suara publik semakin gaduh.
Sejumlah aktivis, akademisi, hingga politisi seperti Beathor menilai hilangnya dokumen selama lebih dari satu dekade pemerintahan Jokowi adalah sebuah anomali politik.
Beathor kembali menegaskan bahwa kesimpulannya cukup sederhana:
“Jika ijazah tidak muncul juga, maka apa yang saya sampaikan benar: ijazah itu bermasalah. Bukan dari UGM, tapi dari ‘Pasar Pojok Pramuka’.”
Ungkapan “Pasar Pojok Pramuka” adalah satire keras yang menuding bahwa ijazah tersebut bukan produk institusi pendidikan resmi, melainkan dokumen beredar di pasar yang terkenal menjual ijazah palsu.
Ungkapan ini membuat pernyataan Beathor viral dan kembali membakar perdebatan publik.
Pengamat politik Rokhmat Widodo menilai bahwa bila pemerintah ingin mengakhiri drama yang telah menghabiskan energi publik selama bertahun-tahun, maka langkah paling rasional adalah membuka dokumen itu secara transparan.
“Kerahasiaan tidak relevan untuk dokumen seperti ijazah. Ini bukan riwayat kesehatan atau informasi sensitif. Transparansi justru memperkuat legitimasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, kegagalan menghadirkan dokumen asli selama lebih dari sepuluh tahun hanya memperkuat asumsi negatif masyarakat.
Polemik ijazah Jokowi bukan sekadar isu administratif, tetapi telah berubah menjadi simbol ketidakpercayaan publik terhadap negara. Di berbagai platform media sosial, pembahasan mengenai “ijazah palsu” telah memecah masyarakat menjadi dua kubu: pendukung Jokowi yang menyatakan bahwa isu ini adalah hoaks politik, dan kelompok yang meyakini pemerintah menutup-nutupi fakta.
Narasi dari kedua kubu terus beradu, menciptakan atmosfer politik yang semakin panas bahkan setelah Jokowi tak lagi menjabat sebagai presiden.





