KH Yahya Staquf Diminta Mundur dari Ketum PBNU, Pengamat: Ini Kemenangan Cak Imin

Permintaan Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftachul Akhyar agar Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mundur dari jabatannya memicu dinamika besar di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Pengamat politik Muhammad Huda menilai, langkah mengejutkan ini justru menjadi kemenangan politik bagi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin), meskipun ia secara terbuka tidak mencampuri urusan internal PBNU.

Menurut Huda, keputusan KH Miftachul Akhyar meminta Gus Yahya mundur bukan sekadar persoalan etika organisasi, melainkan menjadi sinyal kuat kepada publik bahwa tensi konflik antara kubu Gus Yahya dan kubu Cak Imin mencapai puncaknya.

“Cak Imin tidak perlu turun tangan. Ketika Rais Aam meminta Gus Yahya mundur, publik otomatis membaca bahwa ada konflik yang tak bisa ditutup-tutupi antara Gus Yahya dan jaringan NU yang dekat dengan Cak Imin. Secara politik, ini poin kemenangan bagi Cak Imin,” ujar Huda, Sabtu (22/11/2025).

Muhammad Huda menjelaskan bahwa ketegangan ini bukan muncul tiba-tiba. Sejak satu tahun terakhir, sejumlah PWNU diberitakan mengalami pergantian pimpinan yang diduga kuat terkait afiliasi mereka dengan Cak Imin.

Gus Yahya disebut Huda mengambil langkah konsolidasi untuk memperkuat kendali PBNU dari dinamika politik eksternal, terutama dari pengaruh PKB yang sejak lama memiliki akar kuat di basis nahdliyin.

Baca juga:  Ganjar Siap Buka Dialog soal Wadas, Tanggapi Teguran Ketum PBNU

“Ketika beberapa ketua PWNU yang dianggap dekat dengan Cak Imin dicopot atau digeser, itu dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap ekspansi jaringan PKB. Langkah ini memperuncing ketegangan,” jelas Huda.

Situasi ini memunculkan persepsi bahwa terdapat pertarungan kendali atas basis massa NU menjelang pemilu dan dinamika politik nasional. Meskipun PBNU selalu menegaskan posisinya berada di luar politik praktis, friksi antara elite yang memiliki kedekatan dengan tokoh partai tak bisa dihindari.

Huda juga menyoroti dimensi lain yang memperburuk posisi Gus Yahya: munculnya dugaan keterlibatan dirinya dalam aliran dana terkait kasus kuota haji.

Meski belum ada bukti hukum yang menguatkan, isu ini telah beredar di kalangan internal NU dan menyeret reputasi Ketua Umum PBNU tersebut.

“Permintaan mundur dari Rais Aam tidak bisa dilepaskan dari isu aliran dana kuota haji. Meski sebatas dugaan, hal ini menambah tekanan moral dan politik kepada Gus Yahya,” kata Huda.

Isu dana kuota haji, lanjutnya, membuat posisi Gus Yahya semakin lemah di mata para kiai sepuh. Bahkan sebagian kalangan menilai PBNU membutuhkan figur yang tidak terbebani kontroversi untuk menjaga marwah organisasi.

Menurut Huda, setidaknya ada tiga alasan mengapa dinamika ini menguntungkan Cak Imin:

1. Menguatkan Narasi bahwa Gus Yahya Kehilangan Dukungan Ulama Sepuh

Baca juga:  Pokoknya Tolak! KH Said PBNU tak Mau Dialog Tentang FDS

Jika Rais Aam—posisi tertinggi dalam struktur syuriah—turun tangan meminta mundur, artinya legitimasi moral Gus Yahya dinilai goyah. Dalam kultur Nahdliyin, dukungan kiai sepuh sangat menentukan.

2. Membuka Ruang Baru untuk Jaringan PKB

Jika Gus Yahya mundur atau melemah, maka ruang gerak bagi kiai dan pengurus yang dekat dengan PKB berpotensi terbuka kembali, terutama di PWNU.

3. Menguatkan Persepsi Publik tentang Rivalitas yang Dimenangkan PKB

Huda menekankan bahwa dalam persepsi politik, siapa yang terlihat “bertahan” dan siapa yang “diminta mundur” sudah membentuk pemenang dan pecundang.

“Persepsi adalah segalanya dalam politik. Dan saat ini, persepsi kemenangan itu jatuh kepada Cak Imin.”

Konflik elite ini berpotensi membawa PBNU ke titik kritis, terutama dalam menjaga jarak dari politik praktis. Kiai-kiai di daerah disebut mulai resah karena polemik internal berimbas pada kegiatan struktural dan kegiatan keumatan di wilayah masing-masing.

Bagi Huda, masa depan kepemimpinan PBNU pasca polemik ini akan menentukan arah hubungan organisasi dengan partai-partai politik dan stabilitas internal NU sendiri.

“Jika PBNU tidak segera menemukan titik keseimbangan, polarisasi bisa melebar. Apalagi NU memiliki peran strategis dalam menjaga moderasi sosial dan stabilitas kebangsaan,” ujarnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News