Revisi KUHAP Dinilai Tidak Sinkron dengan KUHP 2023, Firman Tendry: Reformasi Bisa Terhenti Total

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali memantik perhatian publik setelah sejumlah pakar hukum menilai arah perubahan aturan tersebut justru berpotensi merusak semangat besar pembaruan hukum pidana nasional melalui KUHP 2023. Salah satunya datang dari Advokat sekaligus Pendiri RECHT Institute, Firman Tendry, yang menilai revisi KUHAP justru bergerak ke arah yang bertentangan dengan visi humanis dan restoratif KUHP terbaru.

Menurut Firman, KUHP 2023 hadir sebagai simbol revolusi hukum pidana Indonesia dengan memutus warisan kolonial, memperkuat perlindungan hak asasi manusia, mengedepankan ultimum remedium, serta mempromosikan keadilan restoratif. Namun semua kemajuan tersebut berpotensi lumpuh jika KUHAP yang mengatur prosedur peradilan tidak selaras dengan paradigma baru tersebut.

Firman menyoroti jurang ideologis antara semangat KUHP dan arah revisi KUHAP. Sejumlah ketentuan dalam draf revisi dinilai memperluas dominasi aparat penegak hukum, terutama penyidik, namun pada saat yang sama mengikis mekanisme kontrol yudisial.

Baca juga:  Mengapa Rakyat Bisa Marah Pada Penguasa

“Perpanjangan penangkapan tanpa izin hakim, penggeledahan dengan alasan ‘mendesak’ yang ditentukan sepihak oleh penyidik, serta pelemahan praperadilan adalah bentuk kemunduran. Ini bertentangan dengan due process of law,” ungkap Firman, Selasa (18/11/2025).

Ia menegaskan, sejarah panjang kasus penyiksaan, intimidasi, dan pelanggaran HAM dalam proses penyidikan seharusnya menjadi alasan memperkuat pengawasan hakim, bukan menguranginya.

Firman menyebut ketidaksinkronan ini sebagai legal schizophrenia. KUHP 2023 berorientasi pro-citizen dengan pidana alternatif dan pengurangan kriminalisasi berlebih. Sebaliknya, revisi KUHAP tampak pro-state dengan memperluas instrumen negara untuk menjerat warga melalui prosedur yang rawan disalahgunakan.

“Ini paradoks. KUHP ingin membebaskan warga dari jerat pidana yang tidak perlu. KUHAP justru memperluas alat negara untuk menjerat mereka,” ujarnya.

Selain persoalan ideologis, Firman juga menyoroti kekosongan teknis dalam revisi KUHAP yang dapat menghambat implementasi KUHP 2023.

Pertama, belum adanya mekanisme operasional untuk keadilan restoratif, termasuk tata cara kerja sosial dan pengawasan yang seragam.

Baca juga:  Drama Manipulasi Purbaya: Persekongkolan Jokowi & Luhut

Kedua, belum adanya aturan prosedural untuk penegakan pidana korporasi, mulai dari pemanggilan pengurus hingga penyitaan aset.

Ketiga, belum adanya pedoman teknis untuk penerapan living law, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan disparitas antardaerah.

“Tanpa prosedur baku, aparat akan menggunakan diskresi masing-masing. Ini berbahaya, karena membuka ruang kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum,” tegasnya.

Firman menekankan bahwa revisi KUHAP harus kembali pada prinsip fundamental: hukum acara adalah pelayan keadilan, bukan alat memperluas kekuasaan negara.

Ia mengajukan empat syarat minimum agar KUHP 2023 dapat berjalan efektif:

1. Memperkuat kontrol yudisial terhadap tindakan aparat.

2. Mengatur mekanisme keadilan restoratif secara detail dan akuntabel.

3. Menyediakan prosedur lengkap penanganan pidana korporasi.

Menyusun pedoman implementasi living law yang selaras dengan asas legalitas.

“Tanpa itu semua, KUHP 2023 hanya akan menjadi dokumen indah yang kehilangan daya kerja. KUHAP harus menjadi penjaga HAM, bukan gerbang penyalahgunaan kekuasaan,” tutup Firman.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News