Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait kelanjutan penagihan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai bentuk komitmen negara yang harus dijaga secara konsisten. Ia menegaskan bahwa negara tidak boleh membuka ruang sedikit pun bagi interpretasi bahwa kewajiban obligor bisa berakhir tanpa penyelesaian yang sah.
Hardjuno menekankan bahwa posisi pemerintah harus tegak pada prinsip fundamental: hak tagih negara tidak mengenal kedaluwarsa.
“BLBI adalah kewajiban hukum, bukan persoalan administratif yang bisa dinegosiasikan. Negara harus menjalankan mandat ini apa pun mekanismenya,” ujar Hardjuno, Ahad (16/11/2025).
Menurutnya, pernyataan Purbaya merupakan pengingat penting bahwa kewajiban obligor tetap melekat, meski pemerintah tengah mengevaluasi berbagai perangkat penagihan. Fokus utama, kata Hardjuno, justru berada pada kepastian proses dan kejelasan arah kebijakan agar penyelesaian BLBI tidak kembali kabur seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Ia menilai BLBI sebagai batu ujian terbesar dalam sejarah penegakan hukum ekonomi Indonesia. Publik, menurut Hardjuno, sejak lama menanti konsistensi negara dalam memastikan penegakan hukum berjalan tanpa kompromi. “Kalau pemerintah menyatakan bahwa penagihan tetap berjalan, maka itu harus diterjemahkan menjadi langkah yang nyata dan terukur,” tegasnya.
Hardjuno menambahkan bahwa seluruh proses penagihan harus berada dalam koridor hukum yang jelas serta terbebas dari multitafsir. Setiap langkah pemerintah, ujarnya, harus mampu memperkuat legitimasi penegakan hukum dan menjaga integritas negara di mata publik.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kebijakan penagihan BLBI bukan hanya soal pemulihan aset negara, tetapi juga mengandung pesan moral bahwa negara tidak tunduk pada tekanan atau kepentingan kelompok tertentu. “Ini bukan soal besar kecilnya uangnya. Ini soal apakah negara mampu menegakkan hukum secara setara,” kata Hardjuno.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah memastikan setiap keputusan terkait BLBI dikomunikasikan secara transparan kepada publik. “Kejelasan komunikasi dan ketegasan langkah adalah kunci. Jangan sampai ada ruang spekulasi bahwa negara ragu menagih. BLBI harus dituntaskan dengan penuh integritas,” tegasnya.
Dalam pandangan Hardjuno, pemerintah juga perlu mempertimbangkan langkah strategis berupa moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI. Ia menilai beban bunga yang terus berjalan tanpa penyelesaian tuntas atas kewajiban obligor merupakan ironi yang justru melemahkan posisi fiskal negara.
“Kalau negara serius menuntaskan BLBI, maka keberanian untuk menghentikan sementara pembayaran bunga rekap harus menjadi opsi di meja pemerintah,” ujarnya.
Ia menilai Purbaya sebagai pejabat yang berani mengambil keputusan non-populis dalam kebijakan fiskal. Karena itu, momentum pernyataan Purbaya mengenai penagihan BLBI harus dimanfaatkan untuk membuka opsi kebijakan yang lebih fundamental.
“Ini saat yang tepat bagi Menteri Keuangan untuk menunjukkan ketegasan penuh. Moratorium bunga rekap bukan sekadar keputusan teknis, tetapi pesan bahwa negara tidak akan terus membayar beban masa lalu sementara kewajiban obligor belum dipenuhi,” tutup Hardjuno.




