SBY Ingatkan Potensi Perang Dunia III, Pengamat Intelijen dan Geopolitik: Langkah Prabowo Perkuat Alutsista Sangat Tepat

Peringatan yang dilontarkan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang potensi pecahnya Perang Dunia III bukan sekadar kekhawatiran pribadi, melainkan refleksi dari dinamika geopolitik global yang kian tegang. Menyikapi hal itu, pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai langkah Presiden Prabowo Subianto memperkuat sistem pertahanan dan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) merupakan kebijakan yang sangat tepat dan visioner.

Menurut Amir, dunia saat ini berada dalam fase “rekayasa geopolitik global” yang mirip dengan kondisi abad ke-18, di mana kekuatan besar dunia saling berlomba menguasai sumber daya, jalur perdagangan, dan pengaruh politik lintas benua. “Kita sedang hidup dalam masa yang sangat sensitif. Dunia bukan sedang menuju damai, tetapi menuju ketegangan yang dirancang oleh kekuatan global untuk mempertahankan dominasi ekonomi dan energi,” ujarnya, Kamis (13/11/2025).

Amir menjelaskan bahwa skenario global saat ini masih dikendalikan oleh kekuatan lama yang memiliki pengaruh dalam tatanan ekonomi dan politik dunia. “Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasca Perang Dunia II merupakan bentuk kendali baru dari sistem global yang pada awalnya banyak diarahkan oleh kepentingan kelompok elit Barat, termasuk keluarga Rockefeller dan jaringan kapitalis Amerika Serikat,” paparnya.

Menurutnya, tatanan dunia yang dibentuk melalui PBB dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia pada dasarnya adalah instrumen kontrol global terhadap negara-negara berkembang, termasuk dalam hal kebijakan sumber daya alam dan militer. “Sistem ini dibangun agar negara-negara berkembang tetap tergantung, baik dari sisi ekonomi maupun teknologi pertahanan,” tambahnya.

Baca juga:  Tinggalkan Cak Imin dan Pilih Erick Thohir, Pemuda Aswaja: Prabowo akan Kalah

Peringatan SBY tentang Perang Dunia III, lanjut Amir, mencerminkan adanya eskalasi global yang kini terlihat jelas di tiga titik panas dunia: konflik India–Pakistan, perang Rusia–Ukraina, dan ketegangan di Laut China Selatan.

“Ketiga kawasan ini merupakan simpul geopolitik penting. Siapa yang menguasainya, akan mengontrol rantai pasok global dan perdagangan energi dunia. China, Rusia, dan AS saat ini berada dalam kompetisi terbuka,” jelasnya.

Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi strategis karena terletak di antara Samudra Hindia dan Pasifik—jalur vital perdagangan dunia. “Laut Natuna Utara dan kawasan perbatasan timur menjadi area yang terus diawasi dunia. China memiliki ambisi besar menguasai Laut China Selatan, dan Indonesia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan,” tegas Amir.

Amir menekankan bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto memperkuat alutsista bukanlah indikasi ambisi perang, melainkan strategi pertahanan cerdas untuk menjaga kedaulatan dan perdamaian. “Indonesia membeli jet tempur Rafale, kapal selam, radar canggih, dan sistem pertahanan udara bukan untuk menyerang siapa pun. Tapi untuk memastikan kita tidak diremehkan, dan tidak mudah diintervensi oleh kekuatan luar,” katanya.

Dalam kunjungan singkatnya ke beberapa pangkalan militer di Indonesia Timur dan Barat baru-baru ini, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya kesiapan militer dalam menghadapi era baru konflik hibrida. “Kekuatan pertahanan hari ini bukan hanya soal jumlah tentara, tapi tentang kemampuan deteksi dini, sistem siber, dan daya tangkal strategis,” terang Amir mengutip pandangan intelijen.

Kini, lanjut Amir, dunia telah memasuki era di mana keseimbangan kekuatan ditentukan oleh kepemilikan senjata nuklir dan kemampuan serangan presisi jarak jauh. “Jika pada abad ke-18 kekuatan dunia diukur dari jumlah kapal perang dan koloni, kini kekuatan ditentukan oleh rudal hipersonik, AI militer, dan kendali energi,” ujarnya.

Baca juga:  Nasionalisasi Pertambangan, Tantangan pada Prabowo untuk Menutup Defisit APBN

Beberapa negara, termasuk Rusia, China, India, Korea Utara, dan Iran, telah memperkuat program nuklirnya, sementara AS dan sekutunya mempertahankan keunggulan melalui NATO. “Kita melihat dunia terbagi menjadi dua blok besar yang kembali mengeras—mirip dengan situasi pra-Perang Dunia II,” lanjut Amir.

Dari sudut pandang intelijen, Amir menilai Indonesia harus terus memainkan peran netral aktif—tidak memihak blok mana pun, namun memperkuat pertahanan nasional dan diplomasi internasional. “Kita tidak boleh masuk dalam orbit geopolitik mana pun, tapi juga tidak boleh lemah. Netral bukan berarti pasif, tapi cerdas menjaga kepentingan nasional,” ujarnya.

Langkah Prabowo memperkuat diplomasi pertahanan dengan berbagai negara, dari Prancis hingga Korea Selatan, menunjukkan arah kebijakan luar negeri yang mandiri dan pragmatis. “Ini sejalan dengan konsep defense diplomacy—berteman dengan semua pihak, tetapi tidak bergantung pada siapa pun,” jelasnya.

Amir menilai, jika skenario global terus memanas dan sumber daya dunia semakin diperebutkan, maka Indonesia berpotensi menjadi medan perebutan pengaruh baru. Oleh karena itu, fondasi pertahanan yang kuat harus dibangun sejak dini.

“SBY memberi peringatan sebagai negarawan yang paham peta global, dan Prabowo menindaklanjuti dengan tindakan nyata di lapangan. Ini bukan hanya soal pembelian senjata, tapi soal mempertahankan eksistensi bangsa,” pungkasnya.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News