Memahami Krismuha: Antara Persepsi, Konteks, dan Niat Baik

✍️ Oleh Asruri Muhammad
(Pegiat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Selatan)

Tulisan ini merupakan tanggapan atas pandangan Ustaz Rokhmat Widodo, aktivis Muhammadiyah dari Kudus, yang menulis “Memahamkan Krismuha ke Tingkatan Ranting.” Saya menghargai perhatian dan pandangan beliau terhadap tulisan saya sebelumnya berjudul “Krismuha: Pepatah, Istilah, atau Kelakar?”

Dalam tulisannya, Ustaz Rokhmat menilai bahwa istilah Krismuha “bukan untuk menyamakan dua agama, tetapi menggambarkan kedekatan sosial yang sudah lama terjalin.” Beliau juga mengingatkan bahwa warga ranting perlu diedukasi agar tidak mudah terseret pada tafsir negatif. Saya sepakat dengan semangat edukatif itu, meski ada beberapa catatan yang ingin saya tambahkan agar wacana ini tetap proporsional dan tidak keluar dari garis dakwah Persyarikatan.
Berikut beberapa poin tanggapan saya:

Istilah yang lahir dari ruang wacana, bukan keputusan Persyarikatan

Sejak awal saya memahami Krismuha sebagai istilah akademik dan wacana sosial, bukan sebagai kebijakan resmi atau arah ideologis Muhammadiyah.

Istilah ini muncul dari ranah diskursus, bukan keputusan Tanwir atau Muktamar. Maka wajar jika warga di tingkat ranting atau cabang merasa bingung—karena istilah ini tidak lahir dari forum resmi organisasi.

Justru di sinilah pentingnya klarifikasi agar istilah yang bersifat eksperimental ini tidak disalahpahami sebagai “arah baru” gerakan Muhammadiyah.

Waspada pada jebakan simbol dan persepsi publik

Dalam masyarakat, simbol dan istilah memiliki daya psikologis yang kuat. Ketika muncul istilah seperti Krismuha, yang memadukan dua identitas teologis berbeda, maka perlu kehati-hatian agar tidak memunculkan tafsir sinkretik atau kesan pencampuran akidah.

Baca juga:  Memahamkan Krismuha ke Tingkatan Ranting (Tanggapan untuk Ustaz Asruri Muhammad)

Saya memahami maksud Ustaz Rokhmat bahwa istilah ini bersifat deskriptif, bukan normatif. Tetapi publik awam sering kali tidak membaca dalam konteks akademik. Karena itu, tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa istilah ini tidak justru membingungkan warga atau menimbulkan kesan seolah Muhammadiyah sedang mencari bentuk teologis baru.

Muhammadiyah terbuka, tapi tetap berprinsip

Saya sependapat dengan semangat keterbukaan yang diungkapkan Ustaz Rokhmat: bahwa Muhammadiyah memang selalu membuka ruang kerja sama lintas iman dalam bidang kemanusiaan.

Namun, keterbukaan itu selalu berdiri di atas prinsip ta’awun fi al-birr wa al-taqwa, bukan ta’awun fi al-ma’shiyyah wa al-dhalal.

Maka yang perlu ditegaskan bukanlah sekadar “kerja sama” atau “kedekatan sosial”, tetapi juga garis prinsip teologis yang tetap dijaga. Tanpa prinsip itu, kerja sama yang mulia bisa kehilangan arah dakwahnya.

Jangan hilangkan kepekaan dakwah kultural di akar rumput

Ustaz Rokhmat benar bahwa istilah Krismuha mungkin lahir dari pengalaman interaksi sosial yang positif antara warga Muhammadiyah dan umat Kristen di beberapa daerah. Namun bagi warga di tingkat ranting, istilah seperti ini bisa menjadi bahan guyonan atau bahkan salah paham.

Dakwah kultural di tingkat bawah menuntut sensitivitas bahasa. Jika istilah yang digunakan terlalu “asing” atau mengandung risiko tafsir ganda, maka yang muncul bukanlah pencerahan, tetapi kebingungan. Karena itu, perlu kehati-hatian agar istilah yang berniat baik tidak menimbulkan efek sebaliknya.

Tafsir yang Beragam, tapi Perlu Pedoman yang Tegas

Istilah seperti Krismuha sangat rentan multitafsir. Bagi kalangan akademik, mungkin dipahami sebagai fenomena sosial, sedangkan bagi warga akar rumput bisa ditangkap sebagai pencampuran identitas agama.

Baca juga:  Memahamkan Krismuha ke Tingkatan Ranting (Tanggapan untuk Ustaz Asruri Muhammad)

Pertanyaannya: tafsir siapa yang paling sahih untuk dijadikan pegangan warga? Dalam konteks Persyarikatan, tentu tafsir resmi atau penjelasan yang bersandar pada Majelis Tarjih dan lembaga resmi Muhammadiyah lah yang seharusnya menjadi rujukan.

Dengan demikian, setiap wacana baru tidak dibiarkan liar di ruang publik, melainkan diolah dan dijelaskan dengan otoritas keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Inilah bentuk hikmah tanzhimiyah (kebijaksanaan organisasi) yang harus dijaga.

Kembali ke ruh Muhammadiyah: Islam yang mencerahkan

Pada akhirnya, Muhammadiyah bukanlah gerakan yang menutup diri, tetapi juga bukan gerakan yang kehilangan arah. Ia berdiri di atas prinsip al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah—kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni.

Jika Krismuha dimaksudkan untuk menggambarkan kedekatan relasional antara umat, maka semangat itu baik selama tidak mencairkan batas aqidah. Tapi jika istilah itu justru menimbulkan kegaduhan atau kesalahpahaman, maka sebaiknya dikembalikan kepada istilah yang lebih netral dan edukatif.

Penutup

Tulisan ini bukanlah bantahan, melainkan ajakan untuk menempatkan wacana pada porsinya. Dalam setiap perbedaan cara pandang, ada ruang dialog yang perlu dijaga dengan saling hormat.

Muhammadiyah telah memberi teladan panjang bagaimana berdakwah dengan akal sehat, hati jernih, dan niat suci. Karena itu, alih-alih memperdebatkan istilah, lebih baik kita menyalakan kembali semangat pencerahan di akar rumput, agar warga Persyarikatan tidak sekadar menjadi penonton dalam dinamika pemikiran yang berkembang.(*)

Simak berita dan artikel lainnya di Google News