Oleh: Ahmad Basri: K3PP
Hari ini, 10 November 2025, di Istana Negara, Presiden Prabowo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa. Salah satu nama adalah mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Penganugerahan tersebut sontak memunculkan pro dan kontra. Ada yang menganggap keputusan tersebut layak dan patut namun tak sedikit pula yang menolak keras.
Dalam masyarakat demokratis perbedaan pandangan semacam ini tentu wajar dan bahkan perlu dihargai sebagai bagian dari dialektika sejarah bangsa.
Bagi kelompok yang mendukung, Soeharto adalah sosok yang berjasa besar dalam pembangunan nasional. Selama 32 tahun masa kepemimpinannya Indonesia mengalami stabilitas politik, ekonomi dan bahkan keamanan.
Banyak infrastruktur dibangun, swasembada pangan tercapai serta dunia internasional memandang Indonesia sebagai negara yang disegani di Asia.
Selain itu kini banyak terpampang dengan kalimat “Enak to – urip di jaman ku” masih melekat kuat di ingatan sebagian rakyat tentang Soeharto.
Ungkapan itu bukan sekadar nostalgia melainkan refleksi dari masa ketika harga kebutuhan pokok relatif stabil dan lapangan kerja mudah didapat. Bagi mereka, Soeharto pantas disebut Pahlawan Pembangunan yang meletakkan dasar kemajuan bangsa.
Bagi pihak yang menolak, sejarah tidak bisa dilihat hanya dari stabilitas ekonomi pembangunan semata.
Selama Orde Baru Soeharto banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, pelarangan organisasi politik, hingga penangkapan terhadap aktivis yang kritis, menjadi catatan kelam yang sulit dihapus.
Bagi para aktivis penggiat HAM, Soeharto bukan pahlawan melainkan simbol otoritarianisme militeristik – simbol pengkhianat. Mereka masih menyimpan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Luka yang menandai bagaimana kekuasaan dijalankan dengan represi dan ketakutan.
Fenomena polemik penganugerahan gelar pahlawan sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Turki, sosok Mustafa Kemal Ataturk yang dijuluki Bapak Bangsa Turki juga menjadi figur yang menimbulkan kontroversi panjang hingga hari ini.
Kaum nasionalis-sekuler memuja Ataturk sebagai pembaharu yang membebaskan rakyat Turki dari kekangan kekhalifahan dan membawa bangsanya menuju modernisasi pembangunan.
Sebaliknya, kelompok agama (Islamis) memandang Ataturk sebagai tokoh yang memutus identitas spiritual rakyat Turki. Di masa kekuasaannya, simbol-simbol keislaman dilarang, para ulama ditangkap, dan ajaran agama dipinggirkan dari ruang publik.
Perdebatan semacam ini menegaskan bahwa gelar pahlawan tidak pernah steril dari politik dan ideologi. Perdebatan bukan hanya penghargaan atas jasa tetapi juga cermin dari siapa yang sedang memegang kendali kekuasaan dan bagaimana sejarah ingin ditulis ulang.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada akhirnya harus dipahami dalam konteks politik kekuasaan masa kini. Siapa yang sedang berkuasa.
Setiap rezim memiliki tafsirnya sendiri. Suka atau tidak suka keputusan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kini menjadi realitas sejarah politik Indonesia.
Tugas kita bukan sekadar memuja atau mengutuk tetapi belajar memilah mana warisan baik yang bisa diambil dan mana kesalahan masa lalu yang tidak boleh diulangi lagi.
Oleh karena itu Soeharto harus diletakan dari perjalanan bangsa dengan segala kebesaran dan keterbatasannya. Sebab jarak antara pahlawan dan pengkhianat sangatlah tipis.





