Soeharto Dapat Gelar Nasional, PPJNA 98: Prabowo Lakukan Rekonsiliasi dan Tetap Jalankan Reformasi

Keputusan Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menandai momen politik dan sejarah yang sarat makna. Bagi sebagian orang, keputusan ini adalah langkah berani dan simbol rekonsiliasi nasional. Namun, bagi sebagian lain, langkah ini menimbulkan kegelisahan moral karena dianggap mengabaikan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru.

Salah satu suara yang memandang keputusan ini dari sisi positif datang dari Ketua Umum Perhimpunan Pergerakan Jejaring Nasional Aktivis 98 (PPJNA 98), Anto Kusumayuda. Menurutnya, langkah Presiden Prabowo bukan sekadar penghormatan terhadap masa lalu, tetapi juga wujud dari politik rekonsiliasi nasional yang tetap berpijak pada semangat reformasi.

Presiden Prabowo Subianto, yang kini berada di puncak kekuasaan setelah dua dekade pascareformasi, tampak ingin memadukan dua bab sejarah: orde pembangunan dan orde reformasi.

Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan bahwa penghargaan kepada Soeharto tidak dimaksudkan untuk meniadakan kritik terhadap kekuasaan Orde Baru, melainkan mengakui jasa besar Soeharto dalam menjaga keutuhan dan pembangunan bangsa di masanya.

Langkah ini menandai babak baru dalam upaya Prabowo membangun citra sebagai presiden penyatu bangsa. Ia berulang kali menyampaikan pesan penting tentang “melihat masa lalu dengan kebijaksanaan dan menatap masa depan dengan semangat persatuan.”

Namun di tengah apresiasi, muncul pula penolakan keras dari sebagian aktivis reformasi dan organisasi hak asasi manusia yang menilai Soeharto belum layak menerima gelar tertinggi tersebut.

Ketua Umum PPJNA 98, Anto Kusumayuda, menilai langkah Prabowo sebagai “politik keseimbangan” antara menghargai sejarah dan memperkuat reformasi. Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya, tanpa menghapus pelajaran berharga dari kesalahan.

“Presiden Prabowo Subianto sedang melakukan rekonsiliasi nasional. Beliau mengajak kita untuk menatap ke depan dengan kedewasaan sejarah. Menghormati Soeharto bukan berarti mengabaikan reformasi, tetapi mengakui bahwa manusia—termasuk seorang pemimpin besar—tidak lepas dari kesalahan,” ujar Anto dalam keterangannya, Senin (10/11/2025).

Baca juga:  Perkuat Hubungan Bilateral, Presiden Prabowo Gelar Pertemuan dengan Prestasi Senat Kerajaan Kamboja

Anto menambahkan, masyarakat tidak perlu takut dengan langkah ini. Justru, kata dia, penghargaan terhadap Soeharto bisa menjadi pintu masuk untuk memahami kompleksitas sejarah bangsa.

“Kita jangan terjebak pada kebencian masa lalu. Soeharto adalah bagian dari perjalanan bangsa ini, sebagaimana reformasi adalah bab penting yang memperbaiki apa yang dulu keliru. Prabowo menunjukkan kedewasaan itu,” lanjutnya.

Soeharto memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Di satu sisi, ia dikenang sebagai Bapak Pembangunan yang membawa stabilitas ekonomi, swasembada pangan, dan pembangunan infrastruktur nasional.

Namun di sisi lain, masa pemerintahannya juga diwarnai pembungkaman politik, pelanggaran HAM, dan korupsi yang mengakar dalam birokrasi.

Ketika reformasi 1998 pecah, nama Soeharto menjadi simbol kejatuhan rezim otoriter. Tetapi dua dekade kemudian, generasi baru yang lahir setelah reformasi mulai melihatnya dengan perspektif berbeda: sebagai tokoh dengan jasa besar yang juga memiliki kekurangan manusiawi.

Dalam konteks ini, langkah Prabowo memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bisa dimaknai sebagai upaya menulis ulang narasi sejarah secara lebih proporsional — bukan hitam-putih, melainkan sejarah yang penuh dialektika.

Dari sisi politik, penganugerahan ini tampaknya juga merupakan strategi rekonsiliasi elite. Prabowo, yang pernah menjadi bagian dari institusi militer Orde Baru, kini berusaha merangkul seluruh spektrum kekuatan nasional — mulai dari keluarga Cendana hingga jaringan reformasi 1998.

Langkah ini bisa dibaca sebagai politik penyatuan narasi nasional, di mana Prabowo berperan sebagai “jembatan generasi”. Ia berusaha mengakhiri dikotomi lama antara “korban dan pelaku” dalam sejarah politik Indonesia.

Namun, tantangan besar menanti. Sebab, tanpa langkah nyata dalam menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, rekonsiliasi ini berisiko menjadi simbolik semata — hanya menambal luka, bukan menyembuhkannya.

Baca juga:  Megawati-Prabowo belum Bertemu, Ini Kata Puan

Dalam analisis lebih lanjut, Anto Kusumayuda menegaskan bahwa reformasi 1998 bukan sekadar peristiwa politik, melainkan kesadaran moral bangsa. Ia berharap langkah Prabowo justru menjadi momentum memperkuat nilai-nilai reformasi.

“Kami dari PPJNA 98 melihat Presiden Prabowo tidak menghapus semangat reformasi. Justru dengan memberi gelar kepada Soeharto, beliau mengingatkan bahwa reformasi harus terus berjalan agar kesalahan masa lalu tidak terulang,” tegas Anto.

Menurutnya, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan penghargaan terhadap masa lalu dengan pembaruan masa kini.

Anto menyebut, politik rekonsiliasi yang ditempuh Prabowo bukanlah bentuk glorifikasi Orde Baru, melainkan langkah menuju kedewasaan nasional.

“Bangsa ini perlu dewasa. Kita bisa menghargai jasa Soeharto tanpa menutup mata terhadap kekurangannya. Di situlah letak kematangan demokrasi,” ujarnya.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto membuka ruang refleksi yang luas: tentang bagaimana bangsa ini menulis sejarahnya sendiri, dan bagaimana generasi penerus memahami makna kepemimpinan, kesalahan, dan pengampunan.

Prabowo Subianto tampak ingin mengakhiri pertikaian naratif antara Orde Baru dan Orde Reformasi dengan satu pesan: bangsa harus bersatu menatap ke depan.
Namun, sebagaimana disampaikan banyak pengamat, rekonsiliasi sejati hanya akan lahir jika keadilan dan reformasi tetap berjalan berdampingan.

Bagi Anto Kusumayuda dan PPJNA 98, keputusan Prabowo bukan pengkhianatan terhadap reformasi, melainkan tanda kedewasaan sejarah bangsa. Sebuah ajakan agar bangsa ini berani menatap masa lalu tanpa kebencian, dan menapaki masa depan dengan kesadaran akan pentingnya keadilan, kejujuran, serta rekonsiliasi sejati.

Anto Kusumayuda menilai Presiden Prabowo Subianto melakukan rekonsiliasi dan tetap menjalankan reformasi dengan memberi gelar kepada mantan penguasa Orde Baru Soeharto. Bangsa Indonesia harus tetap menatap ke depan dan menghargai para pemimpin terdahulu terlepas ada kesalahannya. Manusia itu tidak lepas dari kesalahan termasuk soeharto.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News