Menanti Keadilan di Pengadilan Negeri Depok: Praperadilan Mantan Wali Kota Nur Mahmudi Ismail Jadi Ujian Hukum Antikorupsi

Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Selasa (11/11/2025) menjadi sorotan publik. Hakim tunggal Yudi Dharma, S.H., M.H. dijadwalkan membacakan putusan praperadilan dalam perkara Nomor: 5/Pid.Pra/2025/PN.Dpk yang diajukan terkait penghentian penyidikan kasus korupsi Jalan Nangka Tapos. Kasus yang menyeret mantan Wali Kota Depok Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail dan mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok Harry Prihanto ini kembali mengguncang keyakinan publik terhadap tegaknya hukum di Indonesia.

Kasus dugaan korupsi proyek pelebaran Jalan Nangka, Kecamatan Tapos, Kota Depok dengan nilai kerugian negara mencapai Rp10,7 miliar pertama kali dibuka oleh pihak kepolisian pada 20 Agustus 2018. Saat itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Nur Mahmudi dan Harry Prihanto dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup hasil dari gelar perkara.

“Ditemukan dua alat bukti yang cukup,” ujar Argo, sebagaimana dikutip dari BeritaSatu TV pada 28 Agustus 2018.

Penyidikan yang dilakukan Polresta Depok juga telah memeriksa lebih dari 80 saksi, serta mendapatkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Barat. Sejumlah barang bukti bahkan telah disita.

Kapolresta Depok saat itu, Kombes Didik Sugiarto, menjelaskan bahwa dari bukti yang dikumpulkan, penyidik akhirnya menetapkan Nur Mahmudi dan Harry Prihanto sebagai tersangka dalam kegiatan pengadaan tanah Jalan Nangka Tahun Anggaran 2015.

Namun perjalanan hukum kasus ini justru berhenti secara misterius. Kedua tersangka tidak pernah ditahan, dan perkara yang sempat disupervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlahan hilang dari pemberitaan publik.

Ketidakwajaran muncul ketika Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP) Nomor: S.Tap/21/VI/RES.3./2022/Reskrim tanggal 30 Juni 2022 atas nama tersangka Nur Mahmudi Ismail ditemukan oleh Advokat Adnan M. Balfas, S.H., M.H., pengacara para korban perampasan tanah Kaveling DPR di Kelurahan Pengasinan dan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok.

Adnan M. Balfas menilai penerbitan SKPP ini tidak memenuhi syarat formil dan substantif sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/A/JA/02/2019 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam SE tersebut ditegaskan, perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah termasuk kategori yang pengendaliannya dilakukan langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), bukan oleh Kejaksaan Negeri setempat.

Selain itu, menurut tim hukum Adnan M. Balfas, berkas perkara Nur Mahmudi yang dikirimkan melalui surat Kapolresta Depok Nomor: B/3625/IX/2018/Resta Depok tanggal 20 September 2018 semestinya juga diteruskan ke Jampidsus. Tetapi hal itu tidak dilakukan.

Keanehan semakin terlihat dengan terbitnya Surat Kepala Kejaksaan Negeri Depok Nomor: B-882-a/O.2.34/FD.1/03/2019, yang menyebut waktu penyidikan tambahan atas nama tersangka Nur Mahmudi Ismail telah habis. Padahal, dasar hukum yang digunakan termohon dalam duplik praperadilan adalah Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang sudah dicabut dan diganti pada tahun 2019.

Adnan M. Balfas menilai rangkaian proses ini sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan dan supremasi hukum. Ia menegaskan, dalam kasus dugaan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, ancaman hukuman dapat mencapai penjara seumur hidup atau bahkan pidana mati bila dilakukan dalam keadaan tertentu.

“Proses ini adalah satu dari sekian yang menyalahi aturan dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana tersangka korupsi dengan dua alat bukti yang cukup bisa dibebaskan begitu saja lewat SKPP?” ujar Adnan dalam keterangannya.

Ia juga menyinggung adanya praktik-praktik mafia hukum dan mafia tanah yang melibatkan jaringan kuat di Kota Depok. Adnan mengklaim memiliki bukti kuat bahwa Nur Mahmudi Ismail terlibat dalam perampasan tanah rakyat dengan modus pembatalan hampir 300 sertifikat hak milik (SHM) menggunakan surat keputusan dan akta-akta palsu dalam perkara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Bagaimana mungkin PTUN Bandung, PTTUN, bahkan Mahkamah Agung bisa larut dalam pembodohan seperti ini?” ujar salah satu korban yang turut mendampingi Adnan dalam proses hukum tersebut.

Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Depok pada Selasa, 11 November 2025 akan menjadi momen penting. Publik menunggu apakah hakim akan membatalkan SKPP yang dinilai cacat hukum itu, atau justru menguatkannya.

Kasus ini bukan sekadar persoalan administrasi hukum, melainkan ujian bagi integritas lembaga penegak hukum di Indonesia—apakah hukum benar-benar tajam ke atas dan tidak tumpul terhadap kekuasaan.

Adnan M. Balfas menegaskan, perjuangannya tidak akan berhenti pada sidang ini. “Tulisan ini akan terus bersambung,” ujarnya, “dalam pembongkaran kasus pembebasan mantan wali kota, sekda, mafia tanah, dan mafia hukum yang merampas tanah rakyat di Bedahan dan Pengasinan.”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News