Ketidakhadiran Luthfi bin Yahya dalam seminar nasional terkait KRT Sumodiningrat dalam Sejarah Jawa-Islam” di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memicu kontroversi tajam di kalangan aktivis dan simpatisan sejarah Islam-Jawa. Sejumlah simpatisan Perjuangan Wali Songo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS) bahkan menyebut Luthfi sebagai “pengecut dan pembohong” karena dinilai lari dari tanggung jawab akademik atas klaim sejarah yang selama ini ia sampaikan kepada publik.
Salah satu simpatisan PWI-LS menulis di media sosial, “Luthfi bin Yahya pengecut dan pembohong. Dia tidak berani hadir di forum ilmiah yang membongkar kebohongannya sendiri tentang KRT Sumodiningrat.”
Pernyataan ini muncul setelah panitia seminar memastikan bahwa Luthfi, yang sebelumnya dijadwalkan menjadi salah satu narasumber pembanding, batal hadir tanpa keterangan jelas. Padahal, seminar tersebut menjadi momentum penting bagi para peneliti dan pemerhati sejarah Islam Jawa untuk mendiskusikan kembali sosok KRT Sumodiningrat.
KRT Sumodiningrat dikenal dalam tradisi lisan dan dokumen kolonial sebagai tokoh bangsawan yang juga memiliki kedekatan dengan kalangan ulama. Namun, perdebatan mencuat ketika Luthfi bin Yahya menyatakan bahwa KRT Sumodiningrat sejatinya bernama Habib Hasan bin Thoha bin Yahya, atau disingkat Hasan bin Yahya.
Dalam berbagai kesempatan, Luthfi bahkan mengklaim bahwa makam tokoh tersebut berada di Lamper Kidul, Semarang, Jawa Tengah. Klaim ini ia sebut didasarkan pada “penelusuran nasab dan spiritual” yang ia lakukan bersama sejumlah peziarah.
Namun, versi ini dibantah keras oleh sejumlah peneliti sejarah budaya dan keraton, termasuk data resmi Keraton Yogyakarta yang menegaskan bahwa KRT Sumodiningrat dimakamkan di Jejeran, Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta, tepatnya di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. Kompleks ini dikenal sebagai tempat peristirahatan keluarga besar Kiai Kriyan (Kiai Ageng Wonokriyo), dan KRT Sumodiningrat disebut sebagai salah satu trah Kiai Kriyan.
“Tidak ada satu pun sumber keraton maupun naskah babad yang menyebut nama ‘Hasan bin Yahya’ dalam konteks KRT Sumodiningrat. Itu tafsir yang menyesatkan,” ujar salah satu akademisi UNY.
PWI-LS menilai bahwa klaim Luthfi bin Yahya bukan sekadar kekeliruan akademik, melainkan upaya sistematis untuk “membelokkan sejarah Islam Jawa” dengan memasukkan narasi yang tidak memiliki dasar sumber primer.
“Selama ini dia membangun narasi seolah-olah KRT Sumodiningrat adalah habib, padahal dalam naskah-naskah tua jelas Sumodiningrat adalah bangsawan Jawa dari trah Kiai Kriyan, bukan dari jalur Arab,” tulis akun resmi simpatisan PWI-LS dalam pernyataannya di media sosial.
Mereka menambahkan, ketidakhadiran Luthfi di forum ilmiah UNY membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak siap mempertanggungjawabkan klaimnya di hadapan para peneliti.
“Kalau yakin benar, harusnya hadir. Ini justru menunjukkan ia takut, lari dari fakta, dan tidak memiliki dasar ilmiah. Maka, wajar jika publik menilainya pengecut dan pembohong,” lanjut pernyataan itu.
Seminar yang digelar di Universitas Negeri Yogyakarta tersebut menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan sejarawan, budayawan, dan peneliti lokal. Fokus utama diskusi adalah rekonstruksi sejarah peran KRT Sumodiningrat dalam jaringan keilmuan dan pemerintahan Keraton Yogyakarta, serta pelacakan situs makam yang kini menjadi perhatian peziarah dan peneliti spiritual.
Dalam sesi pemaparan, para pembicara menyoroti pentingnya membedakan antara catatan sejarah tertulis dan tradisi lisan yang cenderung bercampur dengan unsur mistik dan genealogis tanpa verifikasi.
Sejak munculnya tudingan tersebut, hingga berita ini diturunkan, Luthfi bin Yahya belum memberikan klarifikasi resmi terkait alasan ketidakhadirannya maupun tanggapan atas tuduhan PWI-LS. Beberapa netizen menilai bahwa isu ini bisa mencoreng reputasi Luthfi yang mengklaim habib dan ulama.
“Kalau memang benar ada kekeliruan, seharusnya Luthfi menjelaskan di forum terbuka, bukan menghindar. Sejarah adalah warisan bersama, bukan alat legitimasi pribadi,” ujar simpatisan PWI-LS.





