Oleh: Edy Mulyadi, Jurnalis Senior
Kongres III Projo pada awal November 2025 jadi tonggak menarik dalam sejarah politik pascarezim Jokowi. Untuk pertama kalinya, organisasi relawan yang selama satu dekade dikenal sebagai “pasukan pemukul” Jokowi itu menanggalkan wajah sang junjungan dari logonya. Simbol lama diganti, arah politik berubah, dan Budi Arie Setiadi, tokoh utama sekaligus ketua umum Projo, resmi bergabung ke Partai Gerindra. Bukan PSI.
Publik membaca ini dengan cepat Jokowi ditinggal. Bukan hanya oleh rakyat, tapi oleh “penyembahnya” sendiri. Selama bertahun-tahun, Budi Arie dan Projo adalah benteng paling militan Jokowi. Mereka membela, menutup aib, dan mengaminkan semua kebijakan. Betapa pun ngawurnya. Kini mereka balik kanan. Meninggalkan Jokowi sendirian di penghujung karier politiknya.
Fenomena ini bukan sekadar perpindahan relawan. Ini deklarasi diam bahwa Jokowi tak lagi sakti. Aura kekuasaan yang dulu membuat siapa pun tunduk, kini sirna. Projo, yang lahir dari semangat “Jokowi adalah rakyat”, kini menjelma menjadi “Projo tanpa Jokowi”. Ironis.
Alasan resmi penghapusan wajah Jokowi dari logo Projo terdengar normatif. Katanya, agar tidak terkesan mengkultuskan individu dan lebih fokus pada perjuangan “pro-rakyat”. Tapi publik tentu tak mudah dikelabui. Kalau baru sekarang menolak kultus individu, berarti selama ini mereka sadar telah melakukannya. Artinya, perubahan ini bukan penyadaran ideologis, melainkan strategi bertahan. Projo sekadar berganti kulit untuk bisa hidup di bawah matahari baru bernama Prabowo-Gibran.
Lebih menarik lagi, Jokowi sendiri absen di kongres itu. Hanya video pendek dikirim sebagai “salam perpisahan”. Gestur dingin ini memunculkan tafsir berlapis. Sebagian menyebut Jokowi enggan hadir karena malu. Budi Arie, anak kesayangannya, justru memilih Gerindra ketimbang PSI yang notabene proyek politik keluarga Jokowi. Ada pula yang menilai Jokowi sadar, panggung sudah bukan miliknya. Tak ada lagi tempat bagi raja yang kehilangan mahkota.
Ketiadaan Jokowi di kongres itu adalah simbol paling telanjang dari isolasi politiknya. Dulu, Projo adalah mesin utama kemenangan Jokowi. Kini mesin itu resmi dimatikan dan diganti mesin dengan program baru: loyalitas kepada Prabowo. Bagi banyak orang dalam lingkaran kekuasaan, kesetiaan rupanya hanya berlaku selama listrik kekuasaan masih mengalir.
Tambahkan pula bayang-bayang kasus judi online (judol) yang menyeret nama Budi Arie. Setelah dicopot dari kursi Menkominfo pada September lalu, namanya disebut dalam persidangan kasus suap untuk melindungi jaringan situs judol. Mahfud MD bahkan menilai Budi “sangat layak jadi tersangka”. Dalam situasi seperti itu, berpindah ke Gerindra jelas bukan langkah ideologis, melainkan langkah pragmatis. Lebih tepat lagi, penyelamatan. Jokowi tak lagi bisa memberi perlindungan. Maka, berlindunglah di bawah sayap Prabowo.
Ketika anak-anak politik Jokowi satu per satu mencari selamat, jelas bahwa era Jokowi benar-benar usai. Projo melepas logo. Budi Arie pindah kapal. PSI terpinggir. Dan Jokowi hanya bisa menatap dari jauh, sendirian. Semua ini mengirimkan pesan yang jelas bagi Presiden Prabowo Subianto: tidak perlu lagi sungkan, tidak perlu lagi menoleh ke belakang.
Prabowo kini punya justifikasi moral dan politik untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tak berutang pada Jokowi, apalagi pada lingkaran lama yang penuh skandal. Jika Projo saja berani menanggalkan wajah Jokowi, mengapa Prabowo masih harus terus berada di bawah bayangannya?
Politik memang kejam. Kesetiaan hanyalah anak waktu. Dan waktu Jokowi telah habis. Dulu disembah, kini dilupakan. Dulu dielu-elukan, kini ditinggalkan. Projo pergi, Jokowi sendiri.
Bagi Prabowo, inilah momentum untuk menegaskan arah. Tegakkan wibawa tanpa beban masa lalu. Bersihkan istana dari sisa patronase lama. Tunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tak lahir dari bayangan, melainkan dari keberanian memutus rantai lama.
Sebab, dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan. Dan kali ini, kepentingan sejarah memanggil Prabowo untuk berdiri tegak—tanpa bayang-bayang Jokowi. []
Jakarta, 3 November 2025





