Politikus senior PDI Perjuangan, Beathor Suryadi, kembali melontarkan kritik tajam terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Menurutnya, kemunculan Gibran di panggung Pilpres 2024 bukan hanya persoalan politik, tetapi sebuah “dosa besar konstitusional” yang telah mengubah arah demokrasi Indonesia.
Dalam pernyataannya, Beathor menyebut keputusan MK yang membuka jalan bagi Gibran maju sebagai cawapres Prabowo Subianto sebagai “dosa besar sembilan hakim MK” yang akan tercatat dalam sejarah.
“Kemunculan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 itu dosa besar sembilan hakim Mahkamah Konstitusi,” tegas Beathor, Sabtu (1/11/2025).
Beathor menilai, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengizinkan Gibran maju meski belum genap berusia 40 tahun adalah pelanggaran terang-terangan terhadap konstitusi.
“MK harus terbuka bahwa mereka mengakui dosa. Mereka tidak paham bahwa Gibran selain umur belum cukup, juga ternyata tidak memiliki dokumen pendidikan. Kedua syarat ini mutlak diatur dalam konstitusi,” ujarnya.
Ia menyebut, jika hukum dibengkokkan demi kepentingan kekuasaan, maka demokrasi akan kehilangan legitimasi moralnya. Menurutnya, syarat umur dan pendidikan bukan sekadar formalitas, melainkan simbol integritas seorang pemimpin.
Beathor juga mengingatkan bahwa keberadaan Gibran di posisi strategis saat ini berpotensi membuka jalan bagi dominasi oligarki ekonomi di tubuh pemerintahan.
“Jika kita mampu mengorganisir 5.000 massa yang paham betapa berbahayanya jika Gibran menjadi presiden, maka negeri ini akan dikuasai oligarki yang dipimpin Bos Lippo Group, Mochtar Riady,” kata Beathor.
Menurutnya, oligarki telah lama mengincar jalur politik sebagai sarana mempertahankan dominasi modal. Dalam konteks ini, ia menilai Gibran hanyalah “pintu masuk” bagi kekuatan besar di balik layar yang ingin mengendalikan kebijakan nasional melalui jejaring ekonomi dan politik.
Beathor menyerukan kepada masyarakat sipil, mahasiswa, dan elemen pejuang demokrasi untuk mengorganisir kekuatan rakyat menuntut keadilan konstitusional.
“Kita harus fokus menuntut MK membatalkan Gibran Raka. Cukup satu tahun dia menjadi Wakil Presiden RI. Jika kita gagal, maka Gibran akan menjadi presiden tanpa memiliki dokumen pendidikan seperti halnya Joko Widodo,” ujar Beathor.
Ia menilai, aksi ini bukan soal sentimen pribadi terhadap Gibran, melainkan perjuangan menjaga marwah konstitusi dan etika kenegaraan.
Menurut Beathor, tanpa tekanan publik, lembaga tinggi negara cenderung abai terhadap kesalahan fundamental yang telah mereka buat.
Sejak putusan kontroversial MK yang membuka celah hukum bagi Gibran maju di Pilpres 2024, publik memang terus mempertanyakan independensi lembaga peradilan konstitusi itu. Putusan yang kala itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman—paman dari Gibran sendiri—menuai gelombang kritik dan dianggap sarat konflik kepentingan.
Belakangan, Majelis Kehormatan MK memang telah menjatuhkan sanksi etik berat kepada Anwar Usman, namun keputusan tersebut dianggap Beathor tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik.
“Mereka boleh jatuhkan sanksi etik, tapi substansi keputusannya tetap jalan. Inilah yang disebut dosa konstitusional yang belum ditebus,” katanya.
Gibran Rakabuming Raka yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden termuda dalam sejarah Indonesia, menurut Beathor, hanyalah bagian dari fenomena besar yang menandai menurunnya kualitas demokrasi dan meritokrasi di Indonesia.
Ia khawatir, jika tidak dikoreksi, pola pewarisan kekuasaan ini akan menjadi preseden buruk bagi generasi mendatang—di mana jabatan publik bisa diwariskan, bukan diperjuangkan melalui kompetensi dan legitimasi.
“Kita sedang menyiapkan masa depan bangsa di tangan anak muda yang bahkan belum memenuhi syarat konstitusi. Ini bukan kemajuan, ini kemunduran moral,” tutup Beathor dengan nada tegas.





