Prof. Dr. Dessy Harisanty, S.Sos., M.A.: Guru Besar Muda Unair yang Berprinsip Mempermudah Urusan Orang Lain

Langit Surabaya tampak teduh pada Selasa, 29 Oktober 2025. Aula Garuda Mukti, Kampus C Universitas Airlangga (Unair), berubah menjadi ruang penuh kebanggaan dan haru. Di antara toga-toga kehormatan dan deretan tamu undangan, satu sosok perempuan tampil anggun namun bersahaja: Prof. Dr. Dessy Harisanty, S.Sos., M.A.

Hari itu menjadi momentum bersejarah — pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Fakultas Vokasi Universitas Airlangga. Seorang perempuan yang datang dari Lamongan, menapaki tangga akademik dengan kerja keras, ketulusan, dan filosofi hidup sederhana: “Permudah urusan orang lain, maka Allah akan mempermudah urusan kita.”

Lahir dan besar di Lamongan, Prof. Dessy tumbuh dalam keluarga yang menanamkan nilai pendidikan dan keikhlasan sejak dini. Ia bukan hanya dikenal karena kecerdasan intelektualnya, tetapi juga kepribadiannya yang rendah hati dan mudah bergaul dengan siapa pun.

Di kalangan mahasiswa, namanya dikenal sebagai dosen yang hangat dan terbuka. Ia tidak sekadar mengajar teori, tetapi juga menanamkan filosofi hidup — bahwa ilmu sejati adalah ilmu yang membawa manfaat dan mempermudah urusan orang lain.

“Mahasiswa itu jangan hanya berpikir bagaimana bekerja setelah lulus,” ujarnya dalam orasi ilmiah pengukuhannya, “tetapi bagaimana bisa menciptakan peluang kerja. Itu makna pendidikan vokasi yang sejati.”

Dalam orasi ilmiahnya berjudul “Transformasi Literasi Digital dalam Membangun Generasi Vokasi yang Adaptif di Era Disrupsi Teknologi”, Prof. Dessy menyoroti tantangan besar dunia pendidikan hari ini.

Revolusi digital, kecerdasan buatan, dan disrupsi teknologi, katanya, menuntut dunia vokasi untuk bergerak cepat. Pendidikan tak boleh hanya mencetak pekerja terampil, tetapi juga pencipta peluang — anak-anak muda yang mampu beradaptasi dan berinovasi lintas sektor.

Baca juga:  Aksi Sopir Lumpuhkan Jalur Sukodadi-Gresik, Tuntut Hentikan ODOL dan Revisi UU LLAJ

“Vokasi bukan sekadar keterampilan teknis,” tegasnya. “Ia adalah fondasi karakter — mengajarkan kerja keras, kolaborasi, dan tanggung jawab sosial.”

Baginya, literasi digital bukan hanya soal menguasai teknologi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis dan etis dalam menggunakannya. “Kita perlu generasi yang adaptif, tetapi tetap punya hati nurani,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Di balik pencapaian akademik dan penghormatan formal, Prof. Dessy menyimpan prinsip hidup yang sederhana namun dalam maknanya. Ia selalu menekankan pentingnya berbuat baik tanpa pamrih.

“Jangan pernah mempersulit urusan orang lain. Yakinlah, jika kita membantu orang lain dengan tulus, urusan kita akan dimudahkan oleh Allah,” katanya dengan nada lembut namun tegas.

Baginya, dunia kerja — baik di kampus maupun di luar — adalah ruang pengabdian. “Sayangi dan hormati lingkungan kita. Dari atasan hingga anak buah, semua punya peran. Ketika kita bekerja dengan hati yang ikhlas, energi positif itu akan menular dan menjadi semangat bersama.”

Ia juga menekankan pentingnya menghormati orang tua dan guru, karena dari merekalah datang doa dan restu yang mengantarkan seseorang menuju keberhasilan sejati. “Berprestasi bukan semata karena kepintaran, tetapi karena restu dan kebaikan yang kita jaga,” ujarnya.

Bagi rekan sejawat dan mahasiswa, Prof. Dessy bukan hanya akademisi, tapi juga mentor kehidupan. Di ruang kelas, ia mengajarkan bahwa kesuksesan bukan diukur dari jabatan atau materi, melainkan dari seberapa banyak manfaat yang bisa diberikan kepada sesama.

“Bu Dessy itu sosok yang tidak pernah marah tanpa alasan,” ujar salah satu mahasiswanya. “Kalau kita salah, beliau menegur dengan cara yang mendidik. Tidak membuat kita malu, tapi justru membuat kita belajar.”

Sementara koleganya di Fakultas Vokasi menggambarkannya sebagai pemimpin alami — seseorang yang selalu menempatkan kebersamaan di atas ego pribadi. Dalam setiap rapat atau forum akademik, ia lebih sering memfasilitasi pendapat daripada mendominasi.

Baca juga:  PMI Lamongan Salurkan Bantuan Banjir di Laren, Dorong Pembentukan SIBAT di Wilayah Rawan

Menjadi Guru Besar di usia relatif muda bukanlah pencapaian mudah. Namun bagi Prof. Dessy, gelar itu bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal tanggung jawab yang lebih besar.

“Gelar itu amanah,” katanya, “dan amanah harus dijaga dengan terus berkontribusi.”

Ia menyadari bahwa dunia akademik sedang berubah — dosen tak lagi sekadar pengajar, tetapi juga inspirator dan pembuka jalan bagi generasi berikutnya. Karena itu, ia mengajak seluruh sivitas akademika untuk terus memperbarui diri, beradaptasi, dan bekerja sama.

“Era disrupsi tidak bisa dilawan dengan ketakutan, tetapi dengan pembelajaran tanpa henti,” ucapnya menutup orasinya di hadapan para tamu undangan yang memberikan tepuk tangan panjang.

Warisan Nilai untuk Generasi Muda

Dalam hidup dan kariernya, Prof. Dr. Dessy Harisanty telah menunjukkan bahwa kesuksesan bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga tentang kebermanfaatan. Prinsip hidupnya — mempermudah urusan orang lain, menghormati sesama, dan bekerja dengan hati — menjadi warisan nilai bagi mahasiswa dan generasi muda Indonesia.

Di akhir acara pengukuhan, senyumnya tetap tenang, mencerminkan ketulusan yang menjadi ciri khasnya. Di balik toga dan gelar “Guru Besar”, Prof. Dessy tetaplah sosok sederhana yang percaya bahwa kebaikan kecil yang dilakukan dengan hati akan bergaung besar dalam kehidupan.

“Usahakanlah untuk maksimal dalam mengerjakan tugas, jangan hanya berorientasi pada materi. Karena reward akan mengikuti ketika kita berprestasi dan terus berbuat baik.” — Prof. Dr. Dessy Harisanty, S.Sos., M.A. (Yunus Hanis Syam)

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News