Tak Perlu Dipertentangkan, Pengamat: Tim Transformasi Reformasi Polri dan Komisi Reformasi Kepolisian Saling Sinergi

Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menegaskan bahwa keberadaan Tim Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Komisi Reformasi Kepolisian yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto tidak perlu dilihat sebagai dua lembaga yang saling bertentangan. Menurutnya, keduanya justru memiliki tujuan strategis yang sama, yakni memperkuat tata kelola, integritas, dan profesionalisme kepolisian dalam konteks keamanan nasional yang modern dan demokratis.

“Dalam perspektif intelijen dan geopolitik nasional, langkah Presiden Prabowo dan Kapolri Listyo Sigit ini bukan bentuk dualisme, tapi pembagian peran yang saling melengkapi. Komisi Reformasi Kepolisian berperan di ranah strategis dan supervisi, sementara Tim Transformasi Reformasi Polri bergerak pada tataran implementasi teknis dan kultur internal Polri,” ujar Amir Hamzah, Senin (27/10/2025).

Menurut Amir, Komisi Reformasi Kepolisian yang dibentuk oleh Presiden berfungsi sebagai think tank independen yang akan memberikan masukan strategis bagi arah kebijakan reformasi kepolisian. Sementara itu, Tim Transformasi Reformasi Polri yang diketuai oleh Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri, Komjen Prof. Chryshanda Dwilaksana, berperan sebagai pelaksana perubahan internal secara konkret di tubuh Polri.

“Chryshanda Dwilaksana adalah seorang intelektual kepolisian yang sangat konsen terhadap isu reformasi kelembagaan. Beliau memahami persoalan dari akar budaya organisasi Polri hingga pada tuntutan publik yang semakin kompleks. Jadi kalau dua entitas ini berjalan bersama, hasilnya akan jauh lebih sistematis dan berkelanjutan,” jelas Amir.

Ia menambahkan, seringkali publik salah menafsirkan adanya dua lembaga reformasi ini sebagai indikasi tumpang tindih atau tarik-menarik kewenangan antara Presiden dan Kapolri. Padahal, kata Amir, Presiden Prabowo sedang membangun sistem kontrol dan pengawasan lintas struktur agar reformasi kepolisian tidak sekadar seremonial, tetapi berakar kuat dan terukur.

Baca juga:  Xi Jinping Didemosi PKC, Pengamat Geopolitik dan Intelijen: Pengaruh Politik Jokowi di Indonesia Runtuh 

Amir Hamzah menilai pembentukan dua struktur ini memiliki nilai strategis dalam perspektif intelijen politik negara. Menurutnya, Presiden Prabowo ingin memastikan bahwa Polri tidak hanya kuat dalam struktur komando, tetapi juga akuntabel dalam fungsi pelayanan publik dan penegakan hukum.

“Presiden Prabowo melihat bahwa kepercayaan publik terhadap Polri adalah salah satu faktor penentu stabilitas nasional. Dengan menempatkan reformasi di bawah dua sumbu — internal (Tim Transformasi) dan eksternal (Komisi Reformasi) — negara membangun sistem ‘check and balances’ yang cerdas,” ujarnya.

Dari sisi intelijen, lanjut Amir, langkah ini juga dapat dimaknai sebagai manuver preventif terhadap risiko infiltrasi politik, ekonomi, atau kepentingan eksternal di tubuh Polri. “Polri adalah institusi strategis yang bersentuhan langsung dengan publik dan keamanan nasional. Reformasi di dalamnya bukan semata urusan administrasi, tapi bagian dari strategi pertahanan non-militer,” tegasnya.

Amir juga menyoroti figur Komjen Prof. Chryshanda Dwilaksana sebagai sosok akademisi dan pemikir yang mampu menjembatani dunia praktik kepolisian dan dunia akademik. Menurutnya, pemilihan Chryshanda sebagai ketua Tim Transformasi bukan kebetulan, tetapi bentuk kepercayaan Kapolri kepada figur yang memiliki integritas moral dan kapasitas intelektual tinggi.

“Prof. Chryshanda tidak hanya memahami doktrin kepolisian, tetapi juga mempelajari pola kepemimpinan, etika profesi, dan relasi sosial kepolisian dengan masyarakat. Dalam konteks reformasi, itu sangat penting. Reformasi sejati bukan cuma soal struktur, tapi juga kultur,” ujar Amir.

Ia menilai, sinergi antara Chryshanda dan Komisi Reformasi Kepolisian di bawah arahan Presiden Prabowo dapat menghasilkan peta jalan reformasi kepolisian yang lebih kokoh — mencakup profesionalisme penegakan hukum, kesejahteraan anggota, serta peningkatan kualitas pelayanan publik berbasis teknologi dan humanisme.

Baca juga:  Dalam Kasus Ijazah Jokowi, Jujurkah Polri?

Amir juga menegaskan pentingnya menjaga agar proses reformasi kepolisian tidak ditarik ke ranah politik praktis. Menurutnya, Presiden Prabowo dan Kapolri Listyo Sigit tampaknya menyadari risiko itu, sehingga pembentukan dua tim ini justru merupakan strategi untuk menghindari politisasi dalam proses reformasi.

“Kalau hanya satu lembaga yang menangani, bisa muncul persepsi subjektif atau tekanan politik dari satu pihak. Tapi dengan dua sumbu reformasi, akan terjadi saling koreksi. Ini bentuk manajemen intelijen negara dalam menjaga netralitas dan kredibilitas institusi keamanan,” papar Amir.

Lebih lanjut, Amir menjelaskan bahwa arah reformasi Polri yang ideal bukan hanya menyentuh aspek struktural seperti pembenahan organisasi atau jabatan, tetapi juga aspek kultur — bagaimana anggota Polri memahami makna pelayanan, tanggung jawab, dan moralitas publik.

“Kultur polisi yang humanis, adaptif, dan berorientasi pelayanan harus menjadi ruh dari reformasi. Inilah yang sedang diupayakan Tim Transformasi Reformasi Polri di bawah Prof. Chryshanda,” ucapnya.

Dalam pandangan Amir Hamzah, kehadiran dua entitas reformasi kepolisian ini adalah momentum konsolidasi nasional di sektor keamanan publik. Bukan hanya sekadar proyek kelembagaan, tetapi bagian dari strategi besar Prabowo untuk menata ulang relasi negara, masyarakat, dan aparat keamanan.

“Presiden Prabowo ingin memastikan bahwa Polri menjadi kekuatan sipil yang kuat tapi tetap demokratis. Dan Kapolri Listyo Sigit menjawabnya dengan pendekatan transformasi yang sistematis. Ini kombinasi yang patut diapresiasi,” tutup Amir Hamzah.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News