Kinerja Masfuk Lebih Baik dari Bupati Lamongan Sekarang Pak Yes

Oleh: M Yunus Hanis, Pemerhati politik dan sosial Lamongan

Lamongan pernah memiliki masa keemasan yang membuatnya dikenal luas, bukan hanya di Jawa Timur, tetapi juga di seluruh Indonesia. Masa itu berlangsung ketika Kabupaten Lamongan dipimpin oleh H. Masfuk, SH — seorang pemimpin dengan visi besar, keberanian mengambil risiko, dan kemampuan mengeksekusi ide-ide konkret yang berimbas langsung pada peningkatan ekonomi daerah.

Kini, di era kepemimpinan Bupati Yuhronur Efendi atau yang akrab disapa Pak Yes, publik mulai mempertanyakan: di mana gebrakan besar yang bisa dikenang dan dibanggakan masyarakat Lamongan seperti di masa Masfuk dulu?

Pertanyaan ini penting, karena dalam dunia pemerintahan daerah, jejak karya adalah bentuk paling nyata dari akuntabilitas kepemimpinan.

Di awal kepemimpinannya, Masfuk melihat Lamongan masih tertinggal di banyak aspek. Infrastruktur terbatas, sektor wisata belum tergarap, dan kontribusi PAD (Pendapatan Asli Daerah) masih rendah. Dengan tangan dinginnya, Masfuk membalik keadaan itu menjadi peluang.

Langkah monumental yang ia ambil adalah pembangunan Wisata Bahari Lamongan (WBL) — proyek besar yang kala itu banyak dipertanyakan, bahkan dianggap terlalu ambisius. Namun sejarah membuktikan, WBL justru menjadi ikon kebangkitan Lamongan.

Melalui WBL, Masfuk bukan hanya mengubah wajah kawasan pesisir utara yang dulunya sepi, tapi juga menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar. Ratusan tenaga kerja lokal terserap, pelaku UMKM di sekitar lokasi tumbuh pesat, dan PAD Lamongan meningkat signifikan hingga menembus lebih dari Rp9 miliar per tahun hanya dari sektor pariwisata.

WBL menjelma menjadi simbol bahwa daerah kecil pun bisa besar bila dipimpin oleh orang dengan visi dan keberanian.

Tak berhenti di situ, Masfuk juga menata birokrasi dan memperkuat sektor-sektor strategis lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Ia dikenal sebagai bupati yang dekat dengan masyarakat dan tanggap terhadap aspirasi publik.

Puncak pengakuan nasional datang pada 27 Mei 2008, ketika Masfuk dinobatkan sebagai Bupati Terbaik se-Indonesia. Penghargaan itu bukan basa-basi, melainkan pengakuan atas kinerja nyata dalam meningkatkan investasi, pariwisata, dan tata kelola pemerintahan daerah.

Baca juga:  Rajju Pemain SSB BOKATA Tawangrejo Raih Penghargaan Top Skor di Liga Anak Megilan 2025 Series 11 Lamongan

Sebagai penerus, Yuhronur Efendi datang dengan gaya kepemimpinan yang berbeda. Ia dikenal lebih kalem, lebih teknokratis, dan lebih fokus pada pembangunan sosial serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Di bawah kepemimpinannya, Lamongan memang mengalami beberapa kemajuan, terutama dalam bidang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan penguatan program berbasis komunitas seperti “Lamongan Nyantri” dan program-program sosial lainnya.

Namun di sisi lain, Lamongan terasa kehilangan gebrakan besar. Tidak ada proyek ikonik yang mampu menandingi efek ekonomi dan branding seperti WBL di masa Masfuk. Pembangunan yang dilakukan tampak berjalan rutin, administratif, tanpa loncatan strategis yang mampu mengangkat citra daerah di tingkat nasional.

Padahal, dalam konteks daerah seperti Lamongan yang bersaing ketat menarik investor dan wisatawan, branding daerah sangat penting. Sebuah ikon — entah wisata, industri, atau inovasi sosial — menjadi pembeda yang menempatkan Lamongan di peta nasional.

Kepemimpinan Masfuk dan Pak Yes mencerminkan dua paradigma pembangunan yang berbeda.

Masfuk adalah tipe pemimpin visioner dan eksekutif lapangan. Ia berani bermimpi besar dan mengeksekusinya, bahkan ketika risiko politik tinggi. Ia tidak takut dikritik karena tahu bahwa perubahan besar tidak lahir dari zona nyaman.

Sementara Pak Yes lebih berperan sebagai manajer birokrasi. Ia berfokus pada konsolidasi internal, perbaikan tata kelola, dan pelaksanaan program-program yang sifatnya menjaga kesinambungan. Pendekatan ini baik untuk stabilitas pemerintahan, namun sering kali tidak menghasilkan terobosan besar yang membekas di memori publik.

Kepemimpinan yang hanya berorientasi pada manajemen tanpa visi transformasi besar bisa membuat daerah berjalan di tempat. Pembangunan menjadi rutinitas tanpa arah naratif yang kuat — padahal rakyat butuh harapan, simbol, dan bukti nyata dari perubahan.

Salah satu kekuatan Masfuk adalah kemampuannya menciptakan efek psikologis positif di tengah masyarakat. WBL bukan sekadar wahana wisata, tapi simbol percaya diri kolektif warga Lamongan bahwa mereka bisa bersaing dengan daerah besar.

Efek semacam ini penting dalam politik lokal: ia menumbuhkan rasa bangga dan menular pada sektor lain. Setelah WBL berdiri, geliat ekonomi kecil bermunculan — mulai dari penginapan, kuliner, hingga transportasi wisata.

Baca juga:  Solar Subsidi Disedot LSM? Dugaan Kongkalikong SPBU Mantup Lamongan Terkuak

Inilah yang disebut “multiplier effect” dari kepemimpinan visioner: satu kebijakan besar bisa menggandakan energi sosial-ekonomi di berbagai lini.

Sebaliknya, kepemimpinan yang tidak menghasilkan simbol besar sering kehilangan momentum psikologis. Masyarakat tidak merasa “bergerak bersama perubahan”, meskipun secara administratif capaian-capaian tetap ada.

Lamongan seharusnya tidak terjebak pada nostalgia masa lalu, tapi menjadikan era Masfuk sebagai cermin inspiratif dan era Pak Yes sebagai pelajaran introspektif. Ada beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi:

1. Visi besar harus kembali hadir. Lamongan butuh proyek strategis baru yang bisa menjadi magnet ekonomi dan kebanggaan daerah — bukan sekadar rutinitas pembangunan tahunan.

2. PAD harus diperkuat lewat inovasi sektor wisata, industri, dan digital. Ketergantungan pada APBD tanpa diversifikasi sumber PAD membuat daerah rapuh.

3. Pemimpin perlu berani mengambil risiko. Masfuk berhasil karena berani. Tanpa keberanian, tidak akan lahir WBL. Politik pembangunan butuh nyali, bukan sekadar kenyamanan birokrasi.

4. Komunikasi publik harus diperbaiki. Masyarakat berhak tahu apa arah besar Lamongan lima atau sepuluh tahun ke depan. Kepemimpinan tanpa narasi hanya akan melahirkan apatisme.

Pada akhirnya, sejarah tidak menilai pemimpin dari seberapa banyak rapat yang ia pimpin, atau seberapa panjang laporan kinerja yang disusun. Sejarah menilai dari apa yang ia tinggalkan.

Masfuk meninggalkan WBL, peningkatan PAD, dan reputasi Lamongan yang harum di tingkat nasional.

Pak Yes masih punya waktu untuk membuktikan diri — untuk menorehkan satu langkah besar yang bisa menjadi warisan bagi generasi berikutnya.

Rakyat Lamongan tidak butuh bupati yang sekadar hadir di acara seremonial, tetapi bupati yang berani membuat gebrakan, mengambil risiko, dan meninggalkan karya monumental.

Sebab, sebagaimana kata pepatah:

“Pemimpin yang baik tidak hanya mengelola masa kini, tapi juga membangun kenangan masa depan.”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News