Koordinator Laskar Cinta Jokowi (LCJ), Suhandono Baskoro, memberikan pernyataan tegas terkait tudingan sejumlah pihak yang mencoba membandingkan kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri. Dalam keterangan resminya, Suhandono menegaskan bahwa selama dua periode kepemimpinan Jokowi, tidak pernah ada kebijakan strategis yang merugikan negara melalui penjualan aset nasional kepada asing, apalagi menjual gas murah ke China atau menjual perusahaan besar seperti Indosat.
“Publik perlu tahu, Jokowi tidak pernah menjual Indosat, tidak pernah menjual gas dari Blok Tangguh Papua Barat secara murah ke China, dan tidak pernah menyerahkan aset bangsa kepada pihak luar. Justru Jokowi adalah presiden yang mengembalikan kedaulatan ekonomi kita,” tegas Suhandono dalam pernyataannya, Sabtu (25/10/2025).
Menurutnya, Jokowi berhasil melakukan langkah monumental dengan mengambil alih saham mayoritas PT Freeport Indonesia, yang selama puluhan tahun dikuasai oleh asing. Selain itu, Jokowi juga berhasil memaksa perusahaan tambang untuk melakukan hilirisasi, memastikan nilai tambah sumber daya alam Indonesia dinikmati di dalam negeri.
Pernyataan LCJ muncul setelah beredarnya narasi di media sosial yang menuding kebijakan ekonomi Jokowi tidak jauh berbeda dengan era Megawati. Narasi tersebut bahkan menyebut Jokowi melanjutkan pola lama yang dianggap “menjual aset negara”. Namun menurut Suhandono, tudingan itu keliru dan bernuansa politik.
“Justru yang menjual aset penting bangsa itu terjadi di era Megawati. Semua orang tahu, pada masa itu Indosat dijual ke investor asing dengan dalih restrukturisasi ekonomi. Bahkan gas Tangguh dijual ke China dengan harga yang kala itu jauh di bawah harga pasar. Itu fakta sejarah yang tidak bisa dibantah,” ujar Suhandono.
Ia menyebut, LCJ menilai langkah Jokowi berbanding terbalik dengan kebijakan tersebut. Jokowi justru membangun fondasi ekonomi nasional berbasis kemandirian, dengan memperkuat BUMN, infrastruktur energi, dan pengelolaan sumber daya alam secara strategis.
Suhandono menjelaskan bahwa di era Jokowi, paradigma pembangunan ekonomi berubah secara fundamental. “Jokowi memaksa perusahaan tambang melakukan hilirisasi, membangun smelter, dan tidak lagi mengekspor bahan mentah. Ini langkah yang sangat berani karena menyentuh kepentingan besar yang selama ini menguntungkan segelintir elite dan asing,” jelasnya.
Kebijakan hilirisasi nikel, bauksit, dan tembaga menurut LCJ adalah bukti nyata Jokowi memperjuangkan kedaulatan ekonomi. Meskipun kebijakan tersebut sempat digugat di forum internasional, pemerintah tetap konsisten menjalankannya karena keyakinan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi eksportir bahan mentah.
“Jokowi tidak takut digugat WTO karena dia yakin hilirisasi akan membuat rakyat Indonesia yang menikmati hasilnya, bukan negara lain,” tambah Suhandono.
LCJ menilai Jokowi adalah presiden dengan etos nasionalisme ekonomi paling nyata sejak era Soekarno. Selama memimpin, Jokowi membangun fondasi kuat dalam penguasaan sumber daya strategis — dari migas, tambang, hingga telekomunikasi — tanpa menjual satu pun aset strategis nasional.
“Banyak yang menyerang Jokowi dengan narasi ekonomi yang menyesatkan, padahal beliau yang paling tegas menjaga kedaulatan ekonomi kita. Lihat saja, selama sepuluh tahun, tidak ada penjualan aset negara besar. Justru penguatan BUMN terus dilakukan,” kata Suhandono.
Ia mencontohkan keberhasilan Jokowi melalui pembentukan holding-holding BUMN strategis seperti MIND ID (Mining Industry Indonesia) yang kini mengelola aset tambang nasional, serta langkah mengonsolidasikan perusahaan migas di bawah Pertamina untuk memperkuat cadangan energi nasional.
Suhandono menegaskan bahwa warisan terbesar Jokowi adalah kedaulatan ekonomi berbasis hilirisasi dan penguasaan aset strategis. Ia menyebut bahwa generasi mendatang akan menikmati hasil dari kebijakan tersebut, baik dalam bentuk lapangan kerja, peningkatan pendapatan daerah, maupun kekuatan ekonomi nasional yang lebih mandiri.
“Anak cucu bangsa akan melihat bahwa Jokowi adalah pemimpin yang menanam pondasi ekonomi berdikari, bukan penjaga kepentingan asing. Kita harus objektif dalam menilai sejarah. Kalau Megawati pernah menjual Indosat dan menjual gas murah ke China, Jokowi justru mengembalikan kedaulatan bangsa ini dari tangan asing,” pungkas Suhandono.





