Oleh: Achsin El-Qudsy
Bagi sebagian orang, membayangkan seorang wartawan yang sibuk mengatur organisasi wartawan, memimpin perusahaan media dan tetap menulis, lalu di saat yang sama menyusun disertasi doktoral, mungkin terdengar mustahil. Namun, Bang Ariawan membuktikan sebaliknya. Ia berhasil gelar doktor dari Universitas Prof Dr Moestopo Beragama, Jakarta, Sabtu (18/10).
Disertasinya berjudul “Implementasi Kebijakan Digitalisasi Informasi: Studi Efektivitas Sistem Aplikasi SRIKANDI di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”
Topik itu tidak hanya menggambarkan ketertarikannya pada dunia kebijakan publik dan teknologi informasi, tetapi juga menunjukkan kepekaannya sebagai jurnalis yang setiap hari bersentuhan dengan sistem birokrasi dan arus informasi di DPR.
Dalam paparannya di sidang promosi, Bang Ariawan menjelaskan bahwa digitalisasi informasi melalui aplikasi SRIKANDI merupakan bagian penting dari transformasi tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Ia meneliti bagaimana sistem itu berjalan di lembaga tinggi negara seperti DPR RI, dengan segala tantangan implementasinya.
Namun, di balik gelar dan jabatan, Bang Ariawan tetaplah sosok yang down to earth.
Saya masih ingat, setiap kali menghubunginya lewat pesan WhatsApp—entah untuk sekadar bertukar kabar—jawaban selalu datang cepat. Tak pernah menunggu lama. Jika saya meminta waktu bertemu, ia selalu berkata, “Datang saja ke DPR, Bang. Nanti kita ngopi di pressroom.”
Kesibukan sebagai Ketua KWP dan Dewan Pengawas Antara tak membuatnya lupa bahwa esensi dari seorang jurnalis adalah keterhubungan dengan sesama manusia.
“Kalau orang lain butuh bantuan, ya bantu. Hidup kan bukan cuma soal jabatan, tapi kebermanfaatan,” ujarnya.
Di balik segala pencapaian itu, ada kisah sederhana yang membuat perjalanan Bang Ariawan terasa begitu menyentuh. Ia bukan berasal dari keluarga elite atau keturunan pejabat. Ia lahir dari keluarga petani.
Tanah menjadi saksi awal perjuangannya. Dari sawah tempat orangtuanya bekerja keras menanam padi, ia belajar makna kesabaran dan ketekunan. Dari keluarga yang hidup sederhana, ia menyerap nilai kerja keras dan kejujuran.
Kini, anak petani itu duduk di ruang sidang promosi doktoral, disambut dengan tepuk tangan panjang. Pencapaian ini bukan sekadar gelar, tapi simbol perjalanan panjang dari “lumpur ke podium”—dari desa ke dunia akademik dan profesional di pusat kekuasaan.
Dalam obrolan santai, Bang Ariawan sempat berkata, “Saya ini anak petani, Bang. Kalau bisa sampai titik ini, bukan karena saya hebat. Tapi karena doa orang tua dan semangat untuk terus belajar.”
Kalimat itu membuat saya terdiam sejenak. Ada keindahan dalam kesederhanaannya—bahwa pendidikan masih menjadi jalan paling mulia untuk mengubah nasib.
Politisi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, pernah menyebut istilah “kelompok korea”—yakni kelompok masyarakat kalangan Bawah yang ingin “melenting”, mengubah nasib lewat kerja keras dan kecerdikan.
Dalam konteks itu, Bang Ariawan menjadi sosok nyata dari semangat kelompok korea yang berhasil menembus batas.
Ia bukan hanya membangun karier jurnalistik yang kuat, tetapi juga menaikkan derajat intelektualnya ke level tertinggi. Ia membuktikan bahwa jurnalis bukan sekadar penyampai berita, tapi juga pemikir dan peneliti yang memahami perubahan zaman.
Saya memang terlambat mengucapkan selamat. Tapi ketulusan tidak pernah mengenal waktu.
Ketika saya mengetik pesan singkat “Selamat atas gelar doktornya, Bang Ariawan,” saya tahu itu bukan sekadar formalitas. Itu adalah penghormatan atas sebuah perjalanan panjang, atas ketekunan yang tak semua orang mampu jalani, dan atas kerendahan hati yang selalu ia jaga di tengah pencapaian.
Mungkin benar, keberhasilan seseorang bukan hanya diukur dari seberapa tinggi ia naik, tapi dari seberapa banyak ia menginspirasi orang lain untuk ikut naik bersama. Dan dalam hal itu, Bang Ariawan telah berhasil.
Selamat atas gelar doktornya, Bang.
Semoga ilmu dan keteladananmu terus menumbuhkan semangat bagi generasi muda jurnalis, birokrat, dan siapa pun yang percaya bahwa pendidikan adalah jembatan dari mimpi menuju kenyataan.