Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai kekuatan militer Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto kini menempati posisi terkuat di kawasan Asia Tenggara, bahkan mulai diperhitungkan dalam lanskap pertahanan global.
Menurut Amir, langkah strategis Presiden Prabowo yang mengonsolidasikan seluruh matra — darat, laut, dan udara — menjadi satu sistem pertahanan terpadu, telah mengubah wajah militer Indonesia dari kekuatan defensif menjadi kekuatan dengan kapasitas proyeksi regional.
“Indonesia di bawah Prabowo bukan lagi sekadar negara berpenduduk besar dengan potensi militer yang tidur. Sekarang kita sedang menyaksikan kebangkitan nyata kekuatan bersenjata yang siap menjaga kepentingan nasional di luar batas wilayah sendiri,” ujar Amir Hamzah dalam analisis intelijen dan geopolitik yang diterima redaksi, Rabu (22/10/2025).
Amir menjelaskan, percepatan modernisasi militer yang dilakukan pemerintah menjadi fondasi utama kebangkitan kekuatan ini.
Indonesia telah membeli jet tempur Chengdu J-10 dari Tiongkok dan Rafale dari Prancis sebagai tulang punggung kekuatan udara. Kedua jenis jet tempur generasi 4.5 itu memberikan kemampuan air superiority yang jauh lebih tinggi dibandingkan armada lama seperti F-16 dan Sukhoi 27/30.
Di laut, Angkatan Laut Republik Indonesia kini memiliki kapal induk Giuseppe Garibaldi, yang dibeli dari Italia. Kapal ini berfungsi sebagai platform operasi udara lepas pantai dan simbol transformasi kekuatan maritim Indonesia menuju armada biru (blue-water navy).
“Dengan keberadaan kapal induk ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kemampuan operasi laut jarak jauh dan air-sea integration setingkat negara NATO,” ungkap Amir.
Sementara di darat, pengadaan tank-tank tempur modern, kendaraan lapis baja generasi terbaru, dan sistem artileri otomatis menempatkan TNI AD dalam jajaran pasukan dengan kesiapan tinggi di Asia.
Dalam analisis intelijennya, Amir menyoroti bahwa strategi militer Indonesia kini telah bergeser dari doktrin defensif konvensional menjadi postur deterrence aktif.
“Prabowo memahami, dunia saat ini bergerak ke arah ketegangan multipolar. Maka pertahanan tak bisa hanya menunggu ancaman. Indonesia perlu kemampuan proyeksi untuk menunjukkan pengaruh dan mengamankan kepentingan nasional di luar wilayah teritorial,” ujar Amir.
Menurutnya, kebijakan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari traditional defense thinking menjadi strategic autonomy. Indonesia membangun kekuatan militer tidak untuk menyerang, melainkan agar memiliki posisi tawar strategis di tengah rivalitas global antara Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Amir menilai langkah modernisasi militer Indonesia menandai terbentuknya poros baru di kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik bagian selatan.
Dengan posisi geografis yang menghubungkan Samudra Hindia dan Pasifik, Indonesia kini memainkan peran kunci dalam rantai logistik energi dan perdagangan dunia.
“Dalam konteks geopolitik, Indonesia sedang menempatkan dirinya sebagai center of gravity baru. Dengan kekuatan laut dan udara yang tangguh, kita dapat mengamankan jalur strategis seperti Selat Malaka, Laut Natuna Utara, hingga Samudra Hindia,” jelas Amir.
Ia menambahkan, strategi pertahanan Indonesia juga diarahkan untuk menghadapi potensi konflik di kawasan Laut China Selatan, perdagangan Indo-Pasifik, dan ancaman siber lintas negara.
Dengan kekuatan baru ini, Indonesia diposisikan sebagai stabilizer kawasan — negara yang menjadi jangkar keamanan regional, bukan sekadar pengikut blok besar dunia.
Amir menegaskan bahwa keberhasilan militer di bawah Prabowo tidak lepas dari kecerdasan geopolitik yang dimilikinya. Prabowo bukan hanya menteri pertahanan yang naik menjadi presiden, tetapi seorang strategis militer yang mengerti medan diplomasi.
“Langkah pembelian alutsista dari berbagai negara seperti China, Prancis, dan Italia menunjukkan bahwa Prabowo mampu memainkan multi-vector diplomacy. Indonesia tidak berpihak mutlak ke blok Barat atau Timur, tapi berdiri di tengah dengan kepentingan nasional sebagai panduan utama,” papar Amir.
Pendekatan ini menciptakan ruang manuver besar bagi Indonesia di forum internasional, memperkuat posisi tawar terhadap kekuatan global, dan menjadikan Indonesia negara yang sulit ditekan secara politik maupun militer.
Dari perspektif intelijen global, Amir menilai kemajuan militer Indonesia kini mulai diperhitungkan oleh lembaga-lembaga strategis dunia.
Dalam laporan sejumlah think-tank internasional, kekuatan militer Indonesia disebut memiliki kapasitas pengimbang terhadap potensi dominasi China di kawasan Indo-Pasifik.
“Amerika Serikat, Jepang, dan Australia kini melihat Indonesia sebagai mitra penting dalam menjaga stabilitas kawasan. Tapi di saat yang sama, Beijing juga melihat Indonesia sebagai mitra strategis ekonomi dan militer. Ini keseimbangan cerdas yang dibangun Prabowo,” kata Amir.
Menurutnya, di dunia intelijen, posisi seperti ini disebut strategic ambiguity — di mana suatu negara mampu bersahabat dengan semua pihak tanpa kehilangan otonomi nasional.
Amir Hamzah menutup analisisnya dengan menyebut bahwa kebangkitan militer Indonesia merupakan cerminan dari kebangkitan nasional kedua — dari negara berkembang menjadi kekuatan menengah dengan pengaruh global.
“Indonesia kini berada di era baru. Kekuatan militernya menjadi instrumen kedaulatan yang sesungguhnya. Dunia sedang belajar untuk tidak lagi meremehkan posisi kita,” tegas Amir.
Ia menilai, jika proses modernisasi ini berlanjut dan didukung stabilitas politik dalam negeri, maka Indonesia berpotensi masuk lima besar kekuatan militer dunia pada dekade mendatang.