Sepeda Listrik dan Haru di Desa Dradah Lamongan: Kisah Ketulusan Jamari, Pedagang Jamu yang Tak Pernah Menyerah

Di bawah terik matahari yang mulai condong ke barat, roda sepeda tua itu biasanya berputar pelan menyusuri jalanan Desa Dradah, Kecamatan Kedungpring. Di atasnya, seorang pria paruh baya dengan tubuh sedikit pincang, membawa dua termos besar berisi jamu tradisional. Namanya Pak Jamari, sosok sederhana yang telah puluhan tahun menghidupi keluarganya dari jualan jamu keliling.

Namun, hari Selasa ini (21/10/2025) menjadi hari yang berbeda. Wajah letih itu tampak berseri-seri. Di halaman rumahnya yang sederhana, Pak Jamari menerima sebuah sepeda listrik baru — hadiah dari seorang dermawan, Pak Purnomo, yang dikenal luas sebagai sosok peduli dan aktif membantu warga sekitar.

“Alhamdulillah, saya benar-benar nggak nyangka bisa punya sepeda seperti ini,” ucap Pak Jamari sambil mengelus gagang sepeda dengan tangan bergetar. Matanya berkaca-kaca, suaranya parau menahan haru.

Setiap pagi, sebelum matahari muncul sempurna, Pak Jamari sudah bersiap dengan peralatan jamunya. Ia meracik ramuan dari jahe, temulawak, kunyit, dan kencur — warisan pengetahuan dari ibunya dahulu. Sepeda tuanya menjadi saksi kesetiaan dan perjuangan. Meski fisiknya terbatas akibat cedera lama di kaki kirinya, ia tetap berkeliling dari kampung ke kampung, menempuh jarak belasan kilometer setiap hari.

Baca juga:  Semarak Karnaval HUT ke-80 RI di Tikung Lamongan, Warga Tumpah Ruah Penuhi Jalanan

“Saya tidak mau menyerah. Selama masih bisa berdiri, saya akan jualan. Karena ini satu-satunya cara saya menafkahi keluarga,” katanya lirih.

Tak jarang, hujan dan panas membuatnya harus beristirahat lebih lama di pinggir jalan. Namun, semangatnya tak pernah surut. Warga sekitar mengenal Pak Jamari bukan hanya sebagai penjual jamu, tapi juga simbol ketekunan dan keikhlasan.

Pak Purnomo, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat sekaligus polisi berjiwa sosial, sudah lama memperhatikan perjuangan Pak Jamari. Ia sering melihat pria itu mengayuh sepeda tuanya di jalan utama Kedungpring, berpeluh tapi tetap tersenyum saat melayani pembeli.

“Saya pikir, orang seperti beliau pantas mendapat bantuan. Tidak banyak orang yang sekuat dan seteguh itu menjaga kerja kerasnya,” ujar Purnomo dengan nada rendah hati.

Melalui inisiatif pribadi, Purnomo kemudian membeli sebuah sepeda listrik baru agar Pak Jamari bisa berjualan dengan lebih ringan. “Saya hanya ingin melihat beliau lebih mudah menjalani aktivitasnya. Semoga sepeda ini bisa menjadi berkah untuk usaha beliau,” tambahnya.

Saat sepeda diserahkan, suasana haru menyelimuti warga yang hadir. Beberapa tetangga turut menyaksikan momen itu dengan senyum dan tepuk tangan. Bagi mereka, bantuan itu bukan hanya soal alat transportasi — tapi juga tentang pengakuan atas kerja keras seorang warga kecil yang tidak menyerah pada keadaan.

Baca juga:  Ditanya Kasus PT Quality Works tak Kasih CSR, Kepala Bappelitbangda Lamongan Bungkam

Sambil meneteskan air mata, Pak Jamari menatap sepeda listriknya seperti menatap masa depan baru.
“Saya hanya bisa berdoa agar semua kebaikan ini dibalas oleh Tuhan. Terima kasih, Pak Purnomo, dan semua yang masih peduli dengan orang kecil seperti saya,” ucapnya dengan suara bergetar.

Bagi sebagian orang, sepeda listrik mungkin hanya alat bantu mobilitas. Tapi bagi Pak Jamari, sepeda itu adalah simbol harapan. Ia tak lagi harus mengayuh sejauh belasan kilometer setiap hari. Energi yang dulu habis di jalan kini bisa ia gunakan untuk menambah waktu berdagang atau beristirahat bersama keluarga.

Kisah ini pun menjadi pengingat bahwa kebaikan sekecil apa pun dapat mengubah hidup seseorang. Dalam masyarakat yang sering terjebak oleh hiruk pikuk dan kesibukan, masih ada sosok-sosok seperti Purnomo yang hadir dengan ketulusan — dan seperti Jamari yang terus berjuang dengan keikhlasan.

Di tengah geliat modernisasi dan ekonomi yang makin menekan, kisah mereka adalah napas kemanusiaan yang hangat — sederhana tapi bermakna. Pewarta: Hadi Hoy

Simak berita dan artikel lainnya di Google News