Suasana di depan kantor Trans7, Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2025), memanas ketika massa Banser dan Ansor berunjuk rasa menuntut tanggung jawab atas tayangan yang diduga menghina pesantren dan ulama Nahdlatul Ulama (NU). Dalam demonstrasi tersebut, salah satu orator berseragam Banser melontarkan pernyataan keras yang viral di media sosial.
“Jangan sampai kader-kader Banser menggorok leher kalian! Halal darah kalian apabila kalian mengolok-olok ulama NU,” teriak sang orator dengan nada tinggi di hadapan massa dan aparat keamanan.
Ungkapan tersebut memicu gelombang reaksi luas, baik dari masyarakat umum maupun kalangan internal NU sendiri. Banyak pihak menilai pernyataan itu berlebihan dan berpotensi menimbulkan provokasi kekerasan, meski sebagian lainnya melihatnya sebagai bentuk kemarahan spontan akibat pelecehan terhadap simbol keagamaan.
Aksi ini bermula dari tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang dianggap merendahkan kehidupan pesantren dan para kiai. Tayangan itu dinilai menampilkan narasi negatif yang tidak sesuai dengan realitas pesantren.
Video potongan tayangan tersebut beredar luas di media sosial dan langsung memicu kemarahan warga NU. GP Ansor dan Banser dari berbagai daerah kemudian menyerukan protes nasional, menuntut permintaan maaf terbuka dari pihak stasiun televisi.
Massa yang berkumpul di depan kantor Trans7 membawa spanduk bertuliskan “Hormat pada Kiai, Jaga Marwah Pesantren” dan “Trans7 Hina Ulama, Boikot Sekarang!”. Aksi berlangsung damai di awal, namun tensi meningkat ketika orator dari barisan Banser naik ke atas mobil komando dan mengeluarkan ancaman keras.
Dalam orasinya, massa Banser dan GP Ansor menyampaikan tiga tuntutan utama:
1. Trans7 diminta meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam, khususnya kalangan pesantren.
2. Tayangan yang dianggap melecehkan ditarik dan dihapus permanen dari seluruh kanal media.
3. Pihak berwenang di Trans7 yang bertanggung jawab atas produksi tayangan tersebut harus diberi sanksi hukum dan etik.
“Ini bukan sekadar soal televisi, ini soal harga diri umat dan kehormatan kiai. Jangan main-main dengan marwah pesantren,” kata salah satu koordinator aksi.
Pihak Trans7 sebelumnya telah mengeluarkan pernyataan permintaan maaf melalui siaran pers dan media sosial. Mereka menyebut tayangan tersebut tidak bermaksud menghina pesantren dan mengaku akan melakukan evaluasi internal agar kejadian serupa tidak terulang.
Namun, bagi sebagian massa, permintaan maaf itu dianggap belum cukup. “Kami ingin ada tindakan nyata, bukan sekadar minta maaf di atas kertas,” ujar seorang peserta aksi.
Meski banyak yang memahami kemarahan Banser, sejumlah tokoh NU meminta agar aksi tidak berujung pada kekerasan verbal atau fisik.
“Banser harus tetap menjadi penjaga ulama, bukan penebar ancaman. Marwah kita ada pada kedisiplinan dan kesantunan,” ujar seorang kiai muda NU di Jakarta.
Peristiwa ini mencerminkan meningkatnya sensitivitas publik terhadap isu keagamaan, khususnya yang melibatkan lembaga pesantren dan kiai. NU, sebagai organisasi dengan basis massa terbesar di Indonesia, memegang posisi sentral dalam menjaga stabilitas sosial-keagamaan.
Jika ketegangan semacam ini tidak dikelola dengan baik, potensi polarisasi antara kelompok masyarakat bisa meningkat. Di sisi lain, kejadian ini menjadi pengingat bagi media massa agar lebih berhati-hati dalam menayangkan konten yang menyentuh aspek keagamaan.
Hingga Jumat malam, situasi di sekitar kantor Trans7 telah berangsur kondusif setelah aparat kepolisian menenangkan massa. Namun, perdebatan di dunia maya terus berlangsung, terutama mengenai batas antara kebebasan berekspresi, kehormatan ulama, dan ujaran kebencian.
Masyarakat berharap semua pihak, baik media maupun ormas, dapat menempuh jalur dialog dan hukum, bukan kekerasan. Sebab, menjaga kehormatan ulama seharusnya sejalan dengan menjaga ketenangan umat dan perdamaian bangsa.