Pengamat Intelijen dan Geopolitik: Pemerintah Harus Antisipasi Potensi Demo Rusuh Peringatan 1 Tahun Pemerintahan Prabowo

Menjelang peringatan satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2025, sejumlah pengamat mulai memperingatkan potensi meningkatnya dinamika sosial-politik di lapangan. Salah satunya datang dari pengamat intelijen dan geopolitik, Amir Hamzah, yang menilai situasi nasional perlu diwaspadai karena ada potensi demonstrasi besar yang berujung kerusuhan jika pemerintah dan aparat tidak melakukan langkah antisipatif secara cermat dan proporsional.

Amir Hamzah menegaskan bahwa isu yang paling mungkin menjadi pemicu massa turun ke jalan adalah kenaikan dana reses anggota DPR yang belakangan ramai dibahas publik. “Melalui media sosial, isu ini bisa dengan cepat menggerakkan kemarahan publik, terutama di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit,” ujarnya dalam analisis tertulisnya kepada redaksi, Jumat (17/10/2025).

Menurut Amir, di tahun pertama pemerintahan Prabowo, publik masih menilai kinerja kabinet sebagai fase penyesuaian dan konsolidasi politik. Namun, ketika muncul isu seperti kenaikan dana reses, masyarakat bisa melihatnya sebagai simbol ketimpangan—seolah pejabat menikmati keuntungan di tengah kesulitan rakyat. “Di sinilah intelijen harus bekerja, membaca bukan hanya what happens, tapi what’s coming next,” tegasnya.

Amir menilai, tensi publik saat ini cukup tinggi, terutama di kalangan mahasiswa, buruh, dan kelompok aktivis. Kelompok ini masih memiliki memori kuat terhadap demonstrasi besar di masa lalu—seperti saat revisi UU KPK dan Omnibus Law. “Mereka punya jaringan komunikasi cepat dan sistem koordinasi berbasis kampus serta komunitas digital. Media sosial menjadi alat mobilisasi yang lebih efektif daripada pamflet atau selebaran di masa lalu,” katanya.

Baca juga:  Pengamat Kebijakan Publik: Ada Operasi Naga Merah untuk Menghancurkan Anies Baswedan

Ia menambahkan, isu ekonomi dan keadilan sosial sangat sensitif dalam konteks pemerintahan baru. Harga kebutuhan pokok yang belum stabil, peluang kerja yang belum terbuka luas, dan persepsi ketimpangan elit-rakyat menjadi bahan bakar emosional. “Jika elite politik tak sensitif, ruang sosial ini bisa meledak menjadi protes jalanan,” ujar Amir.

Untuk mencegah hal itu, Amir menyarankan agar pemerintah dan DPR segera membuka ruang dialog dengan berbagai kelompok masyarakat, terutama mahasiswa, aktivis buruh, dan kelompok pemuda. “Diskusi panas di ruang tertutup jauh lebih baik daripada bentrok di jalanan. Pemerintah jangan takut dikritik, tapi arahkan energi kritik itu menjadi masukan produktif,” paparnya.

Ia juga mengingatkan aparat keamanan, khususnya Polri, agar tidak terlalu represif menghadapi massa. “Kalau aparat bertindak keras, itu justru jadi bahan propaganda bagi kelompok provokator. Kalau perlu, libatkan unsur marinir sebagai Bawah Kendali Operasi (BKO) untuk membantu pengamanan dengan pendekatan profesional dan berwibawa,” sarannya.

Dari sisi intelijen, Amir menekankan pentingnya pemetaaan kelompok demonstran secara akurat (mapping) dan pemantauan percakapan digital di media sosial. “Bukan sekadar memata-matai, tapi memahami pola pikir, tujuan, dan jaringan komunikasi mereka. Dari situ intel bisa menentukan titik panas mana yang berpotensi berkembang menjadi aksi anarkis,” ujarnya.

Menurutnya, monitoring digital harus difokuskan pada trend topics, hashtags, dan percakapan di grup-grup tertutup yang mulai membahas aksi pada 20 Oktober. “Intelijen jangan reaktif, tapi harus prediktif. Kalau analisisnya lambat, pemerintah akan selalu tertinggal satu langkah dari lapangan,” tambahnya.

Amir mencontohkan, beberapa nama aktivis yang saat ini masih ditahan—termasuk Delpedro Marhaen—justru bisa menjadi pemicu semangat perlawanan baru. “Penangkapan mereka bisa diubah menjadi simbol perjuangan. Narasi ‘kami ditindas’ akan mudah menjual di kalangan mahasiswa. Ini harus bisa dibaca intelijen,” tandasnya.

Baca juga:  Pilkada DKI Jakarta 2024, Pengamat: Sikap Politik Gerindra Ibarat Mawar Berduri

Dalam analisis geopolitiknya, Amir melihat bahwa stabilitas domestik di tahun pertama pemerintahan Prabowo menjadi sorotan internasional. Investor dan mitra luar negeri akan menilai apakah Indonesia mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan demokrasi dan stabilitas keamanan.

“Negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa memperhatikan bagaimana Prabowo mengelola dissent dan kritik. Kalau terlalu keras, bisa dinilai otoriter. Tapi kalau terlalu longgar, dianggap lemah secara politik,” jelas Amir.

Selain itu, aktor-aktor global yang memiliki kepentingan di Indonesia—baik ekonomi maupun politik—akan memanfaatkan setiap gejolak sosial untuk membaca arah kebijakan Prabowo. “Kegaduhan politik domestik selalu punya efek domino terhadap kepercayaan pasar dan diplomasi luar negeri,” katanya.

Amir Hamzah menutup analisisnya dengan menekankan bahwa intelijen dan pemerintah harus bekerja dalam paradigma pencegahan, bukan penindasan. “Demo itu bagian dari demokrasi, tapi rusuh itu ancaman bagi negara. Pemerintah harus tahu bedanya dan bersikap bijak,” ujarnya.

Menurutnya, momentum satu tahun pemerintahan Prabowo bisa menjadi dua hal: panggung refleksi nasional atau panggung chaos sosial—tergantung bagaimana pemerintah membaca dan merespons situasi. “Kalau bijak dan terbuka, rakyat akan menilai positif. Tapi kalau arogan dan tertutup, 20 Oktober bisa berubah menjadi hari ujian terbesar bagi pemerintahan ini,” pungkas Amir.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News