Literasi Digital: Sudahkah Benar-benar Membumi?

Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

Istilah literasi digital kini sering digaungkan di berbagai forum, mulai dari ruang kelas, seminar pemerintah, hingga kampanye media sosial. Ia seakan menjadi mantra baru di tengah derasnya arus informasi dan transformasi teknologi. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah literasi digital di Indonesia benar-benar sudah membumi? Ataukah masih sekadar jargon elit yang tak menyentuh akar persoalan di masyarakat?

Secara formal, literasi digital dimaknai sebagai kemampuan individu dalam memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan berpartisipasi secara kritis di dunia digital. Pemerintah melalui Kementerian Kominfo telah meluncurkan berbagai program seperti Siberkreasi dan pelatihan literasi digital di seluruh provinsi. Laporan-laporan resmi pun sering menyebut jutaan masyarakat telah “terliterasi”. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda jauh dari angka-angka itu.

Kita masih melihat betapa mudahnya masyarakat termakan hoaks, terprovokasi oleh isu agama dan politik, atau menjadi korban penipuan daring. Media sosial dipenuhi ujaran kebencian dan disinformasi, sementara banyak warganet yang belum mampu memilah mana fakta, mana opini, bahkan mana yang sekadar manipulasi. Ini menunjukkan bahwa literasi digital belum menyentuh aspek kritis yang seharusnya menjadi inti dari literasi itu sendiri.

Kelemahan lain terletak pada pendekatan programnya. Literasi digital kerap dikemas secara formal dan teoritis seperti ceramah, seminar, atau webinar yang lebih banyak menjangkau kalangan terdidik di perkotaan. Sementara masyarakat di pedesaan, pelajar di daerah terpencil, hingga para pelaku UMKM di pasar tradisional, tak tersentuh padahal justru merekalah kelompok yang paling membutuhkan pendampingan praktis. Akibatnya, literasi digital berhenti di tataran seremonial, tidak berubah menjadi kebiasaan sosial yang hidup dalam keseharian.

Membumikan literasi digital bukan sekadar memberi tahu cara memakai gawai atau membuka aplikasi. Ini soal membangun kesadaran etika, kemampuan berpikir kritis, dan tanggung jawab bermedia. Masyarakat perlu didampingi untuk memahami dampak setiap unggahan, belajar memverifikasi informasi, dan menggunakan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar untuk hiburan atau sensasi.

Selain itu, tantangan struktural juga besar. Akses internet masih timpang, terutama di wilayah timur Indonesia. Banyak sekolah belum memiliki fasilitas digital memadai, sementara kurikulum literasi digital masih bersifat tambahan, bukan bagian integral dari pembelajaran. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas perlu bersinergi bukan hanya dalam sosialisasi, tetapi juga dalam pembentukan ekosistem digital yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

Literasi digital baru bisa dikatakan “membumi” jika ia tidak berhenti di tataran wacana, tetapi tumbuh menjadi budaya baru di masyarakat. Masyarakat yang tidak hanya bisa menggunakan teknologi, tetapi juga memahami maknanya; yang tidak hanya pandai berselancar di dunia maya, tetapi juga bijak menapaki etika digital. Karena jika tidak disiapkan hingga saat era digitalisasi benar benar tiba, bisa jadi literasi digital kita masih dalam tahap belajar mengeja, belum benar-benar membaca realitas digital dengan utuh.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News