Saatnya Muhasabah dan Berbenah, Gus Murtadho: Tayangan Trans7 Memang Nyiyir, tapi NU Jangan Reaktif

Pengasuh Pondok Pesantren Misykat Al-Anwar, Gus Roy Murtadho, angkat bicara terkait kontroversi tayangan di Trans7 yang dinilai menghina pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU). Menurutnya, reaksi keras dan emosional bukanlah jalan terbaik untuk menanggapi kritik, meski dalam bentuk satir atau nyinyiran.

“Setelah melihat video Trans7, terus terang saya tidak suka. Nadanya seperti Charlie Hebdo. Tapi pesantren dan NU jangan reaktif. Ketua Umum PBNU juga tidak perlu reaktif, seharusnya justru mengajak muhasabah,” ujar Gus Murtadho, Selasa (14/10/2025).

Ia menilai, tayangan Trans7 tersebut lebih tepat disebut sebagai bentuk nyiyir atau satir. Namun, satir semacam itu sebaiknya tidak dibalas dengan amarah, melainkan ditanggapi secara elegan dan penuh argumentasi.

“Kita tidak akan berdebat apakah itu kritik atau tidak, tapi mestinya ditanggapi dengan elegan, bukan dengan emosional. Sudah tidak relevan lagi membela diri dengan emosi, bukan dengan argumentasi,” tegasnya.

Lebih jauh, Gus Murtadho mengingatkan pentingnya melihat kritik tersebut sebagai cermin untuk introspeksi. Menurutnya, pesantren memang merupakan bagian dari sub kultur, sebagaimana disebutkan oleh Gus Dur.

Baca juga:  Lintas Agama di Surabaya: Kyai NU dan Romo Katolik Satukan Tradisi, Budaya, dan Profesi untuk Bangun Persatuan

“Pesantren itu bagian dari kultur Jawa yang masih mempertahankan sisa-sisa mental feodal, meskipun moda produksinya sudah kapitalis,” jelasnya.

Ia menegaskan, sikap terbaik adalah kembali kepada prinsip dasar NU, yakni mempertahankan tradisi lama yang baik dan menggali tradisi baru yang lebih baik. Namun, kata Gus Murtadho, prinsip itu hanya bisa berjalan jika NU berani melakukan kritik dan otokritik di internalnya sendiri.

“Tayangan Trans7 memang tidak mengenakkan. Tapi jangan-jangan itu perlu, agar kita bisa melihat ke dalam secara adil. Mungkin persepsi publik terhadap pesantren memang seperti itu. Jadi kita tidak perlu marah dan ‘ngegas’,” ujarnya.

Ia kemudian membuat perumpamaan yang tajam. “Ini seperti kita perlu tamu untuk tahu apakah rumah kita bau atau tidak. Kalau kita sendiri sudah terbiasa dengan bau sampah di rumah, kita akan menormalisasi bau itu dan merasa tidak ada masalah,” kata Gus Murtadho.

Gus Murtadho juga menyoroti fenomena anak-anak kiai yang viral di media sosial karena memamerkan kemewahan di tengah ketimpangan sosial ekonomi. Menurutnya, hal itu turut memperkuat persepsi publik yang negatif terhadap dunia pesantren.

Baca juga:  Yakin Siyono Teroris, KH Said Aqil tak Punya Rasa Kemanusiaan

“Harus diakui, banyak anak kiai yang viral di medsos karena memamerkan kemewahan di tengah ketimpangan sosial. Jadi ini waktunya kita meluruskan ke publik bahwa pesantren memiliki banyak kelebihan, tapi juga tidak sedikit kekurangannya. Waktunya berbenah, bukan marah-marah,” katanya.

Secara khusus, Gus Murtadho juga menyinggung reaksi Ketua Umum PBNU terhadap tayangan Trans7. Ia berharap kemarahan serupa juga muncul terhadap persoalan besar bangsa, bukan hanya terhadap kritik terhadap NU.

“Ketum PBNU kenapa juga marah-marah begitu? Yang kami tunggu sebenarnya Ketum PBNU marah terhadap korupsi, ketimpangan sosial ekonomi, merosotnya demokrasi, dan kolonialisme Israel. Misalnya beliau memimpin demonstrasi di depan Kedutaan Amerika,” tutur Gus Murtadho.

Ia menutup dengan refleksi tajam tentang peran sosial NU. “Ada yang bilang kepada saya, pesantren dan NU cuma mau mendengarkan dirinya sendiri, hanya fokus ke dalam. Kalau urusan dirinya pasti marah besar, tapi kalau urusan kegagalan transformasi sosial malah tidak punya peran sama sekali. Saya tidak marah, saya jelaskan sebaik-baiknya,” pungkasnya.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News